Tampilkan postingan dengan label MSDM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MSDM. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 April 2013

Prestasi Kerja


Oleh Aloysia Alfra Phalestie, SPsi.

Istilah prestasi kerja mengandung berbagai pengertian. Prabowo (2005) mengemukakan bahwa prestasi lebih merupakan tingkat keberhasilan yang dicapai seseorang untuk mengetahui sejauh mana seseorang mencapai prestasi yang diukur atau dinilai. Suryabrata (1984) menyatakan bahwa prestasi adalah juga suatu hasil yang dicapai seseorang setelah ia melakukan suatu kegiatan. Dalam dunia kerja, prestasi kerja disebut sebagai work performance (Prabowo, 2005).
Definisi prestasi kerja menurut Lawler (dalam As’ad, 1991) adalah suatu hasil yang dicapai oleh karyawan dalam mengerjakan tugas atau pekerjaannya secara efisien dan efektif. Lawler & Porter (dalam As’ad, 1991) menyatakan bahwa prestasi kerja adalah kesuksesan kerja yang diperoleh seseorang dari perbuatan atau hasil yang bersangkutan. Dalam lingkup yang lebih luas, Jewell & Siegall (1990) menyatakan bahwa prestasi merupakan hasil sejauh mana anggota organisasi telah melakukan pekerjaan dalam rangka memuaskan organisasinya.
Definisi prestasi kerja menurut Hasibuan (1990) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, serta waktu.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Kerja
Zeitz (dalam Baron & Byrne, 1994) mengatakan bahwa prestasi kerja dipengaruhi oleh dua hal utama, yaitu faktor organisasional (perusahaan) dan faktor personal. Faktor organisasional meliputi sistem imbal jasa, kualitas pengawasan, beban kerja, nilai dan minat, serta kondisi fisik dari lingkungan kerja. Diantara berbagai faktor organisasional tersebut, faktor yang paling penting adalah faktor sistem imbal jasa, dimana faktor tersebut akan diberikan dalam bentuk gaji, bonus, ataupun promosi. Selain itu, faktor organisasional kedua yang juga penting adalah kualitas pengawasan (supervision quality), dimana seorang bawahan dapat memperoleh kepuasan kerja jika atasannya lebih kompeten dibandingkan dirinya.
Sementara faktor personal meliputi ciri sifat kepribadian (personality trait), senioritas, masa kerja, kemampuan ataupun keterampilan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan dan kepuasan hidup. Untuk faktor personal, faktor yang juga penting dalam mempengaruhi prestasi kerja adalah faktor status dan masa kerja. Pada umumnya, orang yang telah memiliki status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya telah menunjukkan prestasi kerja yang baik. Status pekerjaan tersebut dapat memberikannya kesempatan untuk memperoleh masa kerja yang lebih baik, sehingga kesempatannya untuk semakin menunjukkan prestasi kerja juga semakin besar.
Blumberg & Pringle (dalam Jewell & Siegall, 1990) juga menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menentukan prestasi kerja seseorang, yaitu kesempatan, kapasitas, dan kemauan untuk melakukan prestasi. Kapasitas terdiri dari usia, kesehatan, keterampilan, inteligensi, keterampilan motorik, tingkat pendidikan, daya tahan, stamina, dan tingkat energi. Kemauan terdiri dari motivasi, kepuasan kerja, status pekerjaan, kecemasan, legitimasi, partisipasi, sikap, persepsi atas karakteristik tugas, keterlibatan kerja, keterlibatan ego, citra diri, kepribadian, norma, nilai, persepsi atas ekspektasi peran, dan rasa keadilan. Sedangkan kesempatan meliputi alat, material, pasokan, kondisi kerja, tindakan rekan kerja, perilaku pimpinan, mentorisme, kebijakan, peraturan, prosedur organisasi, informasi, waktu, serta gaji.
Konsekuensi dari Prestasi Kerja
Hal utama yang dituntut oleh perusahaan dari karyawannya adalah prestasi kerja mereka yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Prestasi kerja karyawan akan membawa dampak bagi karyawan yang bersangkutan maupun perusahaan tempat ia bekerja. Prestasi kerja yang tinggi akan meningkatkan produktivitas perusahaan, menurunkan tingkat keluar masuk karyawan (turn over), serta memantapkan manajemen perusahaan. Sebaliknya, prestasi kerja karyawan yang rendah dapat menurunkan tingkat kualitas dan produktivitas kerja, meningkatkan tingkat keluar masuk karyawan, yang pada akhirnya akan berdampak pada penurunan pendapatan perusahaan.
Bagi karyawan, tingkat prestasi kerja yang tinggi dapat memberikan keuntungan tersendiri, seperti meningkatkan gaji, memperluas kesempatan untuk dipromosikan, menurunnya kemungkinan untuk didemosikan, serta membuat ia semakin ahli dan berpengalaman dalam bidang pekerjaannya. Sebaliknya, tingkat prestasi kerja karyawan yang rendah menunjukkan bahwa karyawan tersebut sebenarnya tidak kompeten dalam pekerjaannya, akibatnya ia sukar untuk dipromosikan ke jenjang pekerjaan yang tingkatannya lebih tinggi, memperbesar kemungkinan untuk didemosikan, dan pada akhirnya dapat juga menyebabkan karyawan tersebut mengalami pemutusan hubungan kerja.
Data Prestasi Kerja 
Menurut Griffin dan Ebert (1996) salah satu cara mengevaluasi adalah membandingkan kinerja agen yang satu dengan agen yang lain. Kelemahan dari cara ini adalah ketika tidak ada variasi penjualan diantara  agen. Manajer hanya memperhatikan seberapa besar kontribusi yang diberikan agen terhadap perusahaan. Evaluasi cara yang kedua adalah membandingkan performansi agen saat ini dengan performansi agen sebelumnya.
Menurut Griffin dan Ebert (1996) evaluasi performansi untuk menentukan prestasi yang resmi mempunyai tiga keuntungan:
1.      Manajer dapat mengembangkan dan mengkomunikasikan  standar yang jelas untuk menilai performansi agen asuransi.
2.      Manajer dapat mengumpulkan informasi yang komprehensif mengenai setiap agen.
3.      Agen tahu mereka harus duduk setiap pagi dengan manajer cabang dan menjelaskan performansi mereka ataupun kegagalannya untuk mencapai suatu goal.

Teknik Penilaian Prestasi Kerja 
Asnawi (1999) mengemukakan bahwa di dalam proses penilaian prestasi kerja, terdapat berbagai macam teknik penilaian yang dapat digunakan, baik yang objektif maupun yang subjektif. Penilaian yang objektif akan mendasarkan pada data yang masuk secara otentik, baik yang menyangkut perilaku kerja, kepribadian, maupun data mengenai produksi. Sedangkan penilaian yang subjektif sangat tergantung pada judgment pihak penilai. Oleh karena itu, terutama untuk hasil penilaian yang subjektif, hasil tersebut perlu untuk dianalisis dengan lebih teliti, sebab ia dapat berakhir dengan relatif ataupun absolut. Hal ini harus diperhatikan menimbang banyaknya penyimpangan perilaku (behavioral barriers), baik yang bersifat penyimpangan interpersonal maupun penyimpangan politis.

Subjek penilai dapat merupakan atasan langsung, nasabah, rekan kerja, bawahan, diri sendiri, ataupun majelis penilai. Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Dessler (1988) bahwa subjek penilai adalah pejabat khusus, komite khusus, ataupun dirinya sendiri.

Sedikit berbeda dari beberapa teknik penilaian prestasi kerja seperti yang telah dikemukakan di atas, terdapat suatu teknik penilaian yang dikemukakan oleh Schultz (dalam Asnawi, 1999) yang membedakan teknik penilaian yang diterapkan untuk tenaga kerja yang melaksanakan fungsi produksi dengan tenaga kerja yang tidak melaksanakan fungsi produksi. Bagi tenaga kerja yang melaksanakan fungsi produksi, teknik penilaiannya akan berorientasi pada jumlah produksi, kualitas produksi, ada tidaknya atau jumlah kecelakaan kerja, tingkat penghasilan atau upah, absensi, dan peranan interaksi dalam kerja sama.

Sumber dan bacaan lebih lanjut:
As’ad, M. (1991). Psikologi industri. Yogyakarta: Liberty.
Asnawi, S. (1999). Aplikasi psikologi dalam manajemen sumber daya manusia perusahaan. Jakarta: Pusgrafin.
Dessler, G. (1988). Personnel management. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.
Feinberg, M.R. (1992). Effective psychology for managers. Englewood Cliff, New Jersey : Prentice-Hall
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., Donnely, J.M. (1985). Organizations behavior, structure, processes. Plano : Business Publication.
Grivin, R.W. & Ebert, R.J. (1996). Business. Englewood Cliff, New Jersey : Prentice Hall, Inc.
Hasibuan, M.S.P. (1990). Manajemen sumber daya manusia: dasar kunci keberhasilan. Jakarta: CV Haji Mas Agung.
Jewell & Siegall, M. (1990). Psikologi industri/organisasi modern. Jakarta: Penerbit Arcan.
Robbins, S.P. (1983). Organizational behavior: concept, controversion & application (Edisi ke-5). San Diego: Prentice Hall International, Inc.
Robbins, S.P. (2003). Organizational behavior. New Jersey: Prentice Hall.
Werther, W.B. & Davis, K. (1993). Human resource and personnel management. New York: McGraw-Hill, Co.

Prestasi Kerja : Definisi, Penilaian Prestasi Kerja dan Manfaat Penilaian Prestasi Kerja



Pengertian Prestasi Kerja
Membahas mengenai motivasi kerja, tidak dapat terlepas dari pembahasan mengenai prestasi kerja. Karena motivasi kerja merupakan bagian yang terpenting dari tingkah laku kerja tersebut. Prestasi kerja dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan.
Menurut Hasibuan (1995:105), prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Menurut Moh. As'ud (1995:47), prestasi kerja sebagai kesuksesan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan.

Penilaian Prestasi Kerja
Ukuran terakhir keberhasilan dari suatu departemen personalia adalah prestasi kerja. Karena baik departemen itu sendiri maupun karyawan memerlukan umpan balik atas upayanya masing-masing, maka prestasi kerja dari setiap karyawan perlu dinilai. Oleh karena itu Penilaian prestasi kerja adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja Menurut Heidrahman dan Suad Husnan (1990:126), faktor-faktor prestasi kerja yang perlu dinilai adalah sebagai berikut :
1. Kuantitas Kerja
Banyaknya hasil kerja sesuai dengan waktu kerja yang ada, yang perlu diperhatikan bukan hasil rutin tetapi seberapa cepat pekerjaan dapat diselesaikan.
2. Kualitas kerja
Mutu hasil kerja yang didasarkan pada standar yang ditetapkan. Biasanya diukur melalui ketepatan, ketelitian, ketrampilan, kebersihan hasil kerja.
3. Keandalan
Dapat atau tidaknya karyawan diandalkan adalah kemampuan memenuhi atau mengikuti instruksi, inisiatif, hati-hati, kerajinan dan kerjasama
4. Inisiatif
Kemampuan mengenali masalah dan mengambil tindakan korektif, memberikan saran-saran untuk peningkatan dan menerima tanggung jawab menyelesaikan.
5. Kerajinan
Kesediaan melakukan tugas tanpa adanya paksaan dan juga yang bersifat rutin.
6. Sikap
Perilaku karyawan terhadap perusahaan atau atasan atau teman kerja
7. Kehadiran
Keberadaan karyawan di tempat kerja untuk bekerja sesuai dengan waktu/jam kerja yang telah ditentukan.

Kegunaan Penilaian Prestasi Kerja
Penilaian prestasi kerja dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka. Oleh karena itu kegunaan penilaian prestasi kerja dapat dirinci sebagai berikut:

1.Perbaikan Prestasi Kerja
Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan, manajer dan departemen personalia dapat membetulkan kegiatan-kegiatan mereka.
2. Penyesuaian-Penyesuaian Kompensasi
Evaluasi prestasi kerja membantu para pengambil keputusan dalammenentukan kenaikan upah, pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya.
3.Keputusan-Keputusan Penempatan
Promosi, transfer dan demosi biasanya didasarkan pada prestasi kerja masa lalu atau antisipasinya. Promosi sering merupakan bentuk penghargaan terhadap prestasi kerja masa lalu.
4. Kebutuhan-Kebutuhan Latihan dan Pengembangan
Prestasi kerja yang jelek mungkin menunjukkan kebutuhan latihan. Demikian juga, prestasi yang baik mungkin mencerminkan potensi yang harus di kembangkan.
5. Perencanaan dan Pengembangan Karier
Umpan balik prestasi kerja mengarahkan keputusan-keputusan karier, yaitu tentang jalur karier tertentu yang harus diteliti
6. Penyimpangan-Penyimpangan Proses Staffing
Prestasi kerja yang baik atau jelek mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing departemen personalia
7. Ketidak-akuratan Informasional
Prestasi kerja yang jelek mungkin menunjukkan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisis jabatan, rencana-rencana sumber daya manusia, atau komponen-komponen lain sistem informasi manajemen personalia. Akibatnya keputusan-keputusan yang diambil menjadi tidak tepat.
8. Kesalahan-Kesalahan Desain Pekejaan
Prestasi kerja yang jelek mungkin merupakan suatu tanda kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian prestasi membantu diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.
9. Kesempatan Kerja yang Adil
Penilaian prestasi kerja secara akurat akan menjamin keputusan-keputusan penempatan internal diambil tanpa diskriminasi.
10. Tantangan-Tantangan Eksternal
Kadang-kadang prestasi kerja dipengaruhi oleh faktor di luar lingkungan kerja seperti keluarga, kesehatan, kondisi finansial atau masalah-masalah pribadi lainnya. Dengan penilaian prestasi, departemen personalia mungkin dapat menawarkan bantuan.(T. Hani Handoko,1987:135-136)

Loyalitas Kerja



secara umum loyalitas dapat diartikan dengan kesetiaan, pengabdian dan kepercayaan yang diberikan atau ditujukan kepada seseorang atau lembaga, yang didalamnya terdapat rasa cinta dan tanggung jawab untuk berusaha memberikan pelayanan dan perilaku yang terbaik (Rasimin,1988). Hal ini selaras dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) yang menyatakan bahwa loyalitas adalah kesetiaan, kepatuhan dan ketaatan.Barrold (Muhyadi,1989) mengemukakan bahwa loyalitas adalah kemauan bekerja sama yang berarti kesediaan mengorbankan diri, kesediaan melakukan pengawasan diri dan kemauan untuk menonjolkan kepentingan diri sendiri. Kesediaan untuk mengorbankan diri ini melibatkan adanya kesadaran untuk mengabdikan diri kepada perusahaan. Pengabdian ini akan selalu menyokong peran serta karyawan dalam perusahaan.

Steers & Porter (1983) berpendapat bahwa pertama, loyalitas kepada perusahaan sebagai sikap, yaitu sejauh mana seseorang karyawan mengidentifikasikan tempat kerjanya yang ditunjukan dengan keinginan untuk bekerja dan berusaha sebaik-baiknya dan kedua, loyalitas terhadap perusahaan sebagai perilaku, yaitu proses dimana seseorang karyawan mengambil keputusan pasti untuk tidak keluar dari perusahaan apabila tidak membuat kesalahan yang ekstrim.

Resimin (1988) mengemukakan pengertian loyalitas sebagai keterikatan yaitu identifikasi psikologi individu pada pekerjaannya atau sejauh mana hubungan antara pekerjaan dan perusahaan tersebut dirasa sebagai total self image bagi dirinya dalam perusahaan, yang dapat disebut aktifitas-aktifitas masa lalu dalam perusahaan. Juga kesamaan tujuan antara individu dengan perusahaan. Pengalaman masa lalu dalam perusahaan akam mempengaruhi persepsi karyawan dalam pekerjaan dan perusahaan. Hal-hal yang terjadi terutama yang berhubungan dengan diri karyawan akan mempengaruhi persepsi karyawan terhadap perusakan. Demikian juga kesamaan tujuan antara karyawan dengan perusahaan akan sangat memberi nilai tersendiri terhadap keberadaanya di perusahaan tersebut.
Kerja adalah suatu cara untuk memusatkan kebutuhan secara bertingkat (Rasimin,1988) artinya berbagai macam kebutuhan yang ada dalam diri individu akam di pengaruhi dengan cara bertahap, tidak secar bersama. Sesuai dengan teori Maslow, kebutuhan yang sudah terpenuhi akan berlanjut untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya, sedangkan Ghiselli &

Brown (Kadarwati,2003) menyatakan bahwa kerja adalah aktifitas fiski, psikis maupun social yang mengarah pada tujuan tertentu.

Berdasarkan uraian diatras dapat disimpulkan bahwa lolayitas kerja adalah suatu keadaan aktivitaa yang menyangkut fisik, psikis dan social yang membuat individu mempunyai sikap untuk menaati peraturan yang ditentukan, melakukan dan mengamalkan sesuatu yang ditaatinya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab identifikasi personal terhadap upaya pencapaian tujuan perusahaan sesuai keahliannya sehingga peningkatan efektifitas perusahaan dan disertai dengan pengabdian yang kuat.

Aspek-aspek loyalitas kerja
Loyalitas kerja tidak terbentuk begitu saja dalam perusahaan, tetapi ada aspek-aspek yang terdapat didalamnya yang mewujudkan loyalitas kerja. Masing-masing aspek merupakan bagian dari manajemen perusahaan yang berkaitan dengan karyawan maupun perusahaan.

Steers & Porter (1983) mengemukakan aspek-aspek loyalitas yang berhubungan dengan sikap yang akan dilakukan karyawan, dan merupakan proses psikologis terciptanya loyalitas kerja dalam perusahaan, antara lain :
a. Dorongan yang kuat untuk tetap menjadi anggota perusahaan, kekuatan aspek ini sangat dipengaruhi oleh keadaan individu, baik kebutuhan, tujuan maupun kecocokan individu dalam perusahaan.
b. Keinginan untuk berusaha semaksimal mungkin bagi perusahaan. Kesamaan persepsi antara karyawan dan prusahaan dan yang didukung oleh kesamaan tujuan dalam perusahaan mewujudkan keinginan yang kuat untuk berusaha maksimal, karena dengan pribadi juga perusahaan akan terwujud.
c. Kepercayaan yang pasti dan penerimaan yang penuh atas nilai-nilai perusahaan. Kepastian kepercayaan yang diberikan karyawan tercipta dari operasional dari perusahaan yang tidak lepas dari kepercayaan perusahaan terhadap karyawan itu sendiri untuk melaksanakan pekrjaannya.

Aspek-aspek loyalitas kerja yang lain terdapat pada individu dikemukakan oleh Siswanto (1989), yang menitik beratkan pada pelaksanaan kerja yang dilakukan karyawan antara lain. :
a. taat pada peraturan
karyawan mempunyai tekat dan kesanggupan untuk menaati segala peraturan, perintah dari perusahaan dan tidak melanggar larangan yang telah ditentukan baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Peningkatan ketaatan tenaga kerja merupakan priorotas utama dalam pembinaan tenaga kerja dalam rangka peningkatan loyalitas kerja pada perusahaan.
b. Tanggung jawab
Karakteristik pekerjaan dan prioritas tugasnya mempunyai konsekuensi yang dibebankan karyawan. Kesanggupan karyawan dalam melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya dan kesadaran setian resiko melaksanakan tugas akan memberikan pengertian tentang keberanian dan kesediaan menanggung rasa tanggung jawab ini akan melahirkan loyalitas kerja. Dengan kata lain bahwa karyawan yuang mempunyai loyalitas yang tinggi maka karyawan tersebut mempunyai tanggung jawab yang lebih baik.
c. Sikap kerja
Sikap mempunyai sisi mental yang mempengaruhi individu dalam memberikan reaksi terhadap stimulus mengenai dirinya diperoleh dari pengalaman dapat merespon stimulus tidaklah sama. Ada yang merespon secara positif dan ada yang merespon secara negative. Karyawan yang memiliki loyalitas tinggi akan memiliki sikap kerja yang positif. Sikap kerja yang positif meliputi :
1. kemauan untuk bekerja sama. Bekerja sama dengan orang-orang dalam suatu kelompok akan memungkinkan perusahaan dapat mencapai tujuan yang tidak mungkin dicapai oleh orang-orang secara individual.
2. rasa memiliki. Adanya rasa ikut memiliki karyawan terhadap perusahaan akan membuat karyawan memiliki sikap untuk ikut menjaga dan bertanggung jawab terhadap perusahaan sehingga pada akhirnya akan menimbulkan loyalitas demi tercpainya tjuan perusahaan.
3. hubungan antar pribadi. Karyawan yang mempunyai loyalitas karyawan tinggi mereka akan mempunyai sikap fleksibel kea rah tete hubungan antara pribadi. Hubungan antara pribadi ini meliputi : hubungan social diantara karyawan. Hubungan yang harmonis antara atasan dan karyawan, situasi kerja dan sugesti dari teman sekerja.
4. suka terhadap pekerjaan. Perusahaan harus dapat menghadapi kenyataan bahwa karyawannya tiap hari dating untu bekerja sama sebagai manusia seutuhnya dalam hal melakukan pekerjaan yang akan dilakukan dengan senang hati sebagai indikatornya bisa dilihat dari : kesanggupan karyawan dalam bekerja, karyawan tidak kpernah menuntut apa yang diterimanya di luar gaji pokok.

Aspek-aspek loyalitas diatas, baik yang merupakan proses psikologis individu maupun dalam pekerja tersebut diatas akan sering mempengaruhi untuk membentuk loyalitas, yaitu dorongan yang kuat untuk tetap menjadi anggota perusahaan, kepercayaan yang pasti, penerimaan penuh atas nilai-nilai perusahaan perusahaan, taat pada praturan yang berlaku rasa tanggung jawab yang tinggi dan sikap kerja yang positif. Apa bila hal-hal tersebut dapat terpenuhi dan dimiliki oleh karyawan, maka niscaya karyawan tersebut akan memiliki loyalitas yang tinggi sesuai dengan harapan perusahaan.

Faktor yang mempengaruhi loyalitas kerja
Loyalitas kerja akan tercipta apa bila karyawan merasa trcukupi dalam memenuhi kebutuhan hidup dari pekerjaannya, sehingga meraka betah bekerja dalam suatu perusahaan. Yuliandri (dalam Kadarwati,2003) menegaskan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi loyalitas karyawan adalah adanya fasilitas-fasilitas kerja, tinjauan kesejahteraan, suasana kerja seta upah yang diterima dari perusahaan.
Selanjutnya Steers & Porter (1983) menyatakan bahwa timbulnya loyalitas kerja dipengaruhi oleh :
a. karaktersitik pribadi, merupakan factor yang menyangkut karyawan itu sendiri yang meliputi usia, masa kerja, jenis kelamin, tingkat pendidikan prestasi yang dimiliki, ras dan sifat kepribadian.
b. Karakteristik pekerjaan, menyangkut pada seluk beluk perusahaan yang dilakukan meliputi tantangan kerja, job stress, kesempatan untuk berinteraksi social, job enrichment, identifikasi tugas, umpan balik dan kecocokan tugas. Penyesuaian diri termasuk kedalam proses interaksi social, dijmana seorang karyawan dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat kerjanya berada meliputi semua elemen pendukung perusahaan, terutama dengan sumber daya manusia.
c. Karakteristik desain perusahaan, menyangkut pada interen perusahaan itu yang dapat dilihat dari sentralisasi, tingkat formalitas, tingkat keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, paling tidak telah mengajukan berbagai tingkat asosiasi dengan tanggung jawab perusahaan. Keetergantungan fungsional maupun fungsi control perusahaan.
d. Pengalaman yang diperoleh dari perusahaan, yaitu internalisasi individu terhadap perusahaan setelah melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan sehingga menimbulkan rasa aman, merasakan adanya keputusan pribadi yang dipenuhi oleh perusahaan.
Berdasarkan factor-faktor yang telah diungkap diatas dapat dilihat bahwa masing-masing factor mempunyai dampak tersendiri bagi kelangsungan hidup perusahaan, sehingga tuntutan loyalitas yang diharapkan oleh perusahaan baru dapat terpenuhi apabila karyaawn memiliki karakteristik seperti yang diharapkan dan perusahaan sendiri telah mampu memenuhi harapan-harapan karyawan, sehingga dapat disimpulkan bahwa factor yang mempengaruhi loyalitas tersebut meliputi : adanya fasilitas-fasilitas kerja,tunjangan kesejahteraan, suasana kerja upah yang diterima, karakteristik pribadi individu atau karyawan, karakteristik pekerjaan, karakteristik disain perusahaan dan pengalaman yang diperolah selama karyawan menekuni pekerjaan itu.

cara meningkatkan loyalitas kerja.
Anoraga dan widiyanti (1993) mengemukakan ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan loyalitas kerja, yaitu :
1. hubungan yang erat antar karyawan
2. saling keterbukaan dalam hubungan kerja
3. saling pengertian antara pimpinan dan karyawan
4. memperlakukan karyawan tidak sebagai buruh, tetapi sebagai rekan kerja
5. pimpinan berusaha menyelami pribadi karyawan secara kekeluargaan
6. rekeasi bersama seluruh anggota perusahaan

martoyo (1987) mengemukakan bahwa perhatian terhadap karir individual dalam perencanaan karir yang telah ditetapkan, penilaian prestasi kerja baik tertib dan benar serta pemberian upah akan dapat meningkatkan loyalitas karya pada perusahaan dimana mereka bekerja, Gilsbert (Kadarwati,2003) berpendapat agar karyawan mempunyai loyalitas kerja yang tinggi pada perusahaan dengan jalan mengambil perhatian,memuji kemajuan, pemindahan, kenaikan upah, promosi jabatan, memeberitahukan kepada karyawan tentang apa yang terjadi pada perusahaan, membiarkannya mengerti bagaimana bekerja dengan baik serta mau mendengarkan keluhan para karyawan.

Loyalitas Karyawan



Banyak hal yang menyebabkan seorang karyawan tidak loyal pada perusahaan, di antaranya ketidaksanggupan perusahaan menjaga kenyamanan kerja dan tidak adanya transparansi.
Hal-hal seperti kurang diperhatikan perusahaan karena dianggap tidak penting. Perlu disadari bahwa loyalitas mempunyai peranan penting dalam kemajuan perusahaan. Menurut Mariko A. Yashihara, Managing Director, PT. JAC Indonesia, ada berapa hal yang menyebabkan karyawan tidak loyal pada perusahaan. "

Kenyamanan Kerja
Ketidaksanggupan perusahaan menjaga kenyaman kerja. Ketidakmampuan perusahaan menjaga kenyamanan bekerja bisa berdampak buruk terhadap kinerja karyawan dan pada tahap lebih fatal karyawan akan pindah kerja ke perusahaan lain. Hal ini bisa terjadi bila perusahaan tidak mempunyai prospek yang bagus terhadap kelangsungan hidup karyawan, di mana karyawan jarang atau tidak mengalami peningkatan gaji, bonus dan tunjangan. Pada perusahaan tertentu, sangat sulit memperhatikan permasalan ini karena berhubungan dengan keuangan perusahaan, apa lagi era krisis sekarang banyak sekali perusahaan yang mengabaikan kesejahtraan karyawan.

Senior sukses.
Kesuksesan seorang senior dalam meniti karier dan membangun perekonomian akan mempengaruhi semengat junior untuk tetap setia pada perusahaan. Secara umum setiap karyawan baru mempunyai harapan masa depan terhadap perusahaan. Bila harapan itu tidak terpenuhi maka mereka akan mereview harapan tersebut, termasuk kelangsungan bekerja. Tidak sedikit karyawan yang kecewa karena perusahaan kurang memperhatikan kesejahtraan karyawan.

Keluarga.
Faktor ketiga ini biasanya dialami oleh kaum perempuan. Tidak sedikit perempuan pindah dan berhenti kerja karena suami mendapat tugas kerja ke luar daerah atau luar negeri. "Bukan menentang gander, tapi kenyataanya memang seperti itu. Fenomena seperti ini tidak saja terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain, termasuk negara maju. Dalam menata kelangsungan rumah tangga, kebanyakm istri mengikuti suami, bukan suami yang mengikuti istri, akibatnya karier perempuan terhalang karena terbentur pola kerja suami," tutur konsultan tenaga kerja asal negara Matahari Terbit ini. Mengacu pada kasus di atas. Tidak sedikit perusahaan yang enggan menerima karyawan perempuan sudah menikah. Mereka lebih suka menerima karyawan perempuan belum menikah karena ritme kerja mereka lebih tinggi dan tidak punya resiko untuk pindah kerja, termasuk hamil. Walau menerima karyawan perempuan sudah menikah tapi tidak akan ditempatkan di posisi penting.

Transparan.
Perusahaan yang tidak pernah mengsosialisasikan provit pada karyawan akan menimbulkan rasa cemas karyawan. Karyawan akan bertanya-tanya apakah perusahaan ini masih stabil atau sudah rapuh? Apalagi perusahaan hanya menyatakan kerugian saja. Namun, bila karyawan tahu bahwa ekonomi perusahaan dalam keadaan kuat, maka karyawan akan bertahan, menjaga pola kerja dan enggan pindah kerja. Selain itu, tidak ada salahnya memberikan bonus bila perusahaan memperoleh untung besar.

Cara Meningkat Loyalitas
Mariko menjelaskan, tidak sulit meningkat loyalitas karyawan pada perusahaan. Ada empat cara meningkatkan loyalitas:

Pertama
Perhatian khusus kepada karyawan khusus. Ini bisa diimplementasikan dengan cara menaikan jabatan dan meningkatkan gaji. Untuk mengetahui perkembangan karyawan, perusahaan harus memantau kerja karyawan. tugas ini biasanya dilakukan HRD dan harus dikerjakan dengan teliti dan tidak asal-asalan. Karyawan berkualitas harus diberikan kompensasi positif, salah satunya bonus. Cara ini akan mengikat karyawan untuk enggan pindah kerja karena semua kebutuhan sudah dipenuhi perusahaan.

Kedua
Membangun nilai kekeluargaan. Nilai ini bisa dibangun dengan cara makan siang bersama karyawan terpilih. Tidak perlu setiap hari, makan siang bersama bisa dilakukan dalam satu bulan atau minggu sekali. Dari sini akan terbangun keakraban antara karyawan dengan pemimpin. Dalam kondisi akan terlontar pembicara-pembicara non formal yang membuat suasana menjadi santai dan akrab. "Cara seperti banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, para CEO meluangkan waktu untuk makan siang bersama karyawan terpilih," kata Mariko.

Ketiga
Meningkatkan karier. Menaikan jabatan karyawan berprestasi sangat perlu dilakukan, karena itu merupakan satu kebanggan. Karyawan paling senang bila mereka menduduki jabatan yang lebih tinggi. Ini merupakan satu prestasi kerja, dengan imbalan ini mereka akan meningkatkan semangat kerja. Jangan biarkan karyawan berprestasi pindah kerja, karena mereka adalah aset perusahaan yang nilainya tidak kalah dengan keuntungan.

Keempat
Analisa. Dengan menganalisa keadaan karyawan pemimpin akan tahu kondisi dan tingkat kebutuhan karyawan. Setiap karyawan mempunyai tingkat kebutuhan berbeda-beda. Dalam memenuhi kebutuhan karyawan tidak bisa disama ratakan, setiap karyawan mempunyai tingkat kebutuhan berbeda-beda. Tingat kebutuhan karyawan berusia 22-25 tahun, di mana mereka baru lulus kuliah dan belum menikah berbeda dengan karyawan berusia 30-35 tahun. Karyawan berusia 22-25 tahun mempunyai sifat ingin belajar dan tingkat kebutuhan terhadap materi masih kecil. Karyawan pada level ini lebih cocok jika berikan learning center atau pendidikan tambahan. Pendidikan tambahan akan menjadi bekal pengembangan karier. Berbeda dengan karyawan berusia 30-35 tahun.

Diusia ini mereka sudah mempunyai rencana untuk menikah. Untuk kelangsungan pernikahan, mereka membutuhkan dana pernikahan. Karyawan seperti ini lebih senang bila gajinya dinaikan. Begitu juga dengan karyawan, berusia 40 tahun ke atas. Keryawan berusia diatas 40 tahun sudah mulai sakit-sakitan dan anak sudah mulai sekolah. Karyawan ini lebih senang, bila uang kesejahtraan keluarga dinaikan.

"Selain ditentukan oleh kepribadian, loyalitas karyawan juga ditentukan oleh keadaan perusahaan. Perusahaan yang tidak sehat akan mengurangi loyalitas karyawan, kondisi seperti ini tidak saja terjadi di Indonesia tapi juga di negara maju."

Loyalitas pada Profesi



Dalam kamus Bahasa Indonesia, ada beberapa  sinonim kata yang menjelaskan makna dari kata Loyalitas ini, antara lain adalah: Kesetiaan, Kepatuhan, Ketaatan, Komitmen dan pengorbanan. Dalam konteks profesi, loyalitas yang saya maksudkan lebih dekat padanannya dengan Kesetiaan, karena memang kata Kestiaan lebih tepat kalau dipadu-padankan dengan kata profesi. Jadi makna yang terkandung dalam “Loyalitas pada Profesi” adalah kesetiaan pengabdian pada profesi, penuh tanggung jawab dan siap berkorban demi pengabdian pada profesi.
Sejatinya seorang profesional adalah orang yang memiliki loyalitas pada profesi, tanpa loyalitas maka tidak bisa dikatakan profesional, karena tanpa adanya loyalitas pada profesi bagaimana mungkin seseorang bisa mengenal dan menguasai bidang profesinya secara baik. Seseorang bisa dikatakan profesional apabila dia betul-betul menguasai bidang profesi yang dia geluti. Seorang profesional biasanya juga disebut sebagai tenaga ahli dalam satu bidang profesi.
Seorang pekerja profesional yang bekerja pada sebuah perusahaan, pada hakikatnya pengabdian yang dilakukan atas dasar kesetiaan pada profesi, bukanlah kesetiaan pada perusahaan tempatnya bekerja, kalau terlihat loyal pada perusahaan, itu semata-mata merupakan implikasi dari totalitas pengabdiannya pada profesi yang ditekuninya. Kesetiaan pengabdian pada profesi akan berpengaruh besar pada peningkatan kemampuan, sedangkan kesetiaan pengabdian pada perusahaan hanya kan menumbuhkan kepatuhan,nah kepatuhan inilah yang nantinya akan merusak kestiaan pada profesi.
Saya pernah bekerja pada sebuah prusahaan Rumah Produksi, saya bekerja secara kontrak sesuai dengan satu judul produksi, saya bekerja sesuai dengan Job yang ada dikontrak, diluar job tersebut tidak akan saya lakukan. Tapi satu ketika saya disuruh mengerjakan sesuatu yang diluar Job saya, saya menolaknya..lalu perusahaan menggap saya tidak loyal. Saya katakan pada pemilik perusahaan, saya bukan tidak loyal pada perusahaan kalau saya tidak mau melakukan suatu pekerjaan yang diluar job saya, itu semua saya lakukan karena saya berusaha untuk profesional, job saya dikontrak cukup jelas dan itu semua saya lakukan karena loyalitas saya pada profesi.
Dengan penjelasan tersebut, akhirnya pemilik perusahaan dapat mengerti alasan saya dan selanjutnya dia lebih menghargai dan menghormati saya sebagai seorang yang konsisiten  juga setia pada profesi. Sikap seperti inilah yang senantiasa saya pertahankan, loyalitas pada profesi itu pada saatnya akan memberikan banyak manfaat, baik pada kelangsungan profesi maupun pada eksistensi profesi itu sendiri.
Demikianlah ulasan singkat mengenai Loyalitas pada Profesi dalam pandangan saya, mungkin saja kompasianer juga punya pandangan lain terhadap makna dari Loyalitas pada Profesi, atau juga pengalaman yang berkaitan dengan loyalitas pada profesi, kalau tidak keberatan silahkan share disini sambil berbagi pengalaman dan pengetahuan agar dapat diambil hikmah dan manfaatnya.
Manajemen Sumber Daya manusia. Didalam kamus bahasa Indonesia menjelaskan sikap adalah perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pendirian (Wjs. Poerwadarminta,2002:944).
Sedangkan kerja adalah melakukan sesuatu (Wjs. Poerwadarminta, 2002:492). Menurut pengertian dari Agus Maulana, sikap kerja karyawan adalah cara kerja karyawan didalam mengkomunikasikan suasana karyawan kepada pimpinan ataupun perusahaan. Karyawan merasakan adanya kesenangan yang mendalam terhadap pekerjaan yang dilakukan.

Loyal adalah patuh, setia (Wjs. Poerwadarminta, 2002:609). Dari pengertian diatas, kesimpulannya adalah suatu kecenderungan karyawan untuk pindah ke perusahaan lain. Apabila karyawan bekerja pada suatu perusahaan, dan perusahaan tersebut telah memberikan fasilitas – fasilitas yang memadai dan diterima oleh karyawannya, maka kesetiaan karyawan terhadap perusahaan pekerjaan menjadi lebih giat lagi.
Fasilitas – fasilitas yang diterima oleh karyawan sehingga karyawan mau bekerja sebaik mungkin dan tetap loyal pada perusahaan, hendaknya perusahaan memberikan imbalan yang sesuai kepada karyawannya.

 Semua itu tergantung pada situasi dan kondisi perusahaan tersebut serta tujuan yang ingin dicapai.
Untuk itu perusahaan mengemukakan beberapa cara:
a. Gaji yang cukup
b. Memberikan kebutuhan rohani.
c. Sesekali perlu menciptakan suasana santai.
d. Menempatkan karyawan pada posisi yang tepat.
e. Memberikan kesempatan pada karyawan untuk maju.
f. Memperhatikan rasa aman untuk menghadapi masa depan.
g. Mengusahakan karyawan untuk mempunyai loyalitas.
h. Sesekali mengajak karyawan berunding.
i. Memberikan fasilitas yang menyenangkan.
(Nitisemito, 1991:167Sebab – sebab turunnya loyalitas dan sikap kerja itu dikarenakan banyak sebab misalnya, upah yang mereka terima tidak sesuai dengan pekerjaannya, tidak cocoknya dengan gaya perilaku pemimpin, lingkungan kerja yang buruk dan sebagainya. Untuk memecahkan persoalan tersebut, maka perusahaan harus dapat menemukan penyebab dari turunnya loyalitas dan sikap kerja karyawan itu disebabkan pada prinsipnya turunnya loyalitas dan sikap kerja karyawan itu disebabkan oleh ketidakpuasan para karyawan. Adapun sumber ketidakpuasan bisa bersifat material dan non material yang bersifat material antara lain: rendahnya upah yang diterima, fasilitas minimum. Sedangkan yang non material antara lain: penghargaan sebagai manusia, kebutuhan – kebutuhan yang berpartisipasi dan sebagainya (S. Alex Nitisemito, 1991:167).
Indikasi – indikasi turunnya loyalitas dan sikap kerja karyawanantara lain
1. Turun/ rendahnya produktivitas kerja.
Turunnya produktivitas kerja ini dapat diukur atau diperbandingkan dengan waktu sebelumnya. Produktivitas kerja yang turun ini dapat terjadi karena kemalasan atau penundaan kerja
2. Tingkat absensi yang naik.
Pada umumnya bila loyalitas dan sikap kerja karyawan turun, maka karyawan akan malas untuk datang bekerja setiap hari. Bila ada gejala – gejala absensi naik maka perlu segera dilakukan penelitian.
3. Tingkat perpindahan buruh yang tinggi.
Keluar masuknya karyawan yang meningkat tersebut terutama adalah karena tidak senangnya para karyawan bekerja pada perusahaan. Untuk itu mereka berusaha mencari pekerjaan lain yang dianggap sesuai. Tingkat perpindahan buruh yang tinggi selain dapat menurunkan produktivitas kerja, juga dapat mempengaruhi kelangsungan jalannya perusahaan.
4. Kegelisahan dimana – mana.
Loyalitas dan sikap kerja karyawan yang menurun dapat menimbulkan kegelisahan sebagai seorang pemimpin harus mengetahui bahwa adanya kegelisahan itu dapat terwujud dalam bentuk ketidak terangan dalam bekerja, keluh kesah serta hal – hal yang lain.

5. Tuntutan yang sering terjadi.
Tuntutan yang sebetulnya merupakan perwujudan dan ketidakpuasan, dimana pada tahap tertentu akan menimbulkan keberanian untuk mengajukan tuntutan.
6. Pemogokan.
Tingkat indikasi yang paling kuat tentang turunnya loyalitas dan sikap kerja karyawan adalah pemogokan. Biasanya suatu perusahaan yang karyawannya sudah tidak merasa tahan lagi hingga memuncak, maka hal itu akan menimbulkan suatu tuntutan, dan bilamana tuntutan tersebut tidak berhasil, maka pada umumnya para karyawan melakukan pemogokan kerja. (S. Alex Nitisemito,1991:163 – 166).

Pada kategori usia para karyawan yang berbeda menunjukkan aksentuasi loyalitas yang berbeda pula seperti uang diuraikan berikut ini:
a. Angkatan kerja yang usianya di atas lima puluh tahun menunjukkan loyalitas yang tinggi pada organisasi. Mungkin alasan – alasan yang menonjol ialah bahwa mereka sudah mapan dalam kekaryaannya, penghasilan yang memadai, memungkinkan mereka menikmati taraf hidup yang dipandangnya layak. Banyak teman dalam organisasi, pola karirnya jelas, tidak ingin pindah, sudah “terlambat” memulai karier kedua, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan memasuki usia pensiun. Seperti yang terdapat dalam perusahaan UD. DUTA
RASA, dalam perusahaan ini ada beberapa karyawan tetapnya adalah karyawan dengan umur sekitar 50an dan sudah bekerja cukup lama dalam perusahaan sedangkan para karyawan kontraknya adalah karyawan yang masih muda.
b. Tenaga kerja yang berada pada kategori usia empat puluhan menunjukkan loyalitas pada karir dan jenis profesi yang selama ini ditekuninya. Misalnya, seseorang yang menekuni karir di bidang keuangan akan cenderung “ bertahan” pada bidang tersebut meskipun tidak berarti menekuninya hanya dalam organisasi yang sama. Karena itu pindah ke profesi lain, tetapi bergerak di bidang yang sama, bukanlah merupakan hal yang aneh. Barangkali alasan pokoknya terletak pada hasrat untuk benar – benar mendalami bidang tertentu itu karena latar belakang pendidikan dan pelatihan yang pernah ditempuh, bakat, minat, dan pengalaman yang memungkinkannya menampilkan kinerja yang memuaskan yang pada gilirannya membuka peluang untuk promosi, menambah penghasilan, dan meniti karir secara mantap.
c. Tenaga kerja dalam kategori 30 – 40 tahun menunjukkan bahwa loyalitasnya tertuju pada diri sendiri. Hal ini dapat dipahami karena tenaga kerja dalam kategori ini masih terdorong kuat untuk memantapkan keberadaannya, kalau perlu berpindah dari satu organisasi ke organisasi lain dan bahkan mungkin juga dari satu profesi ke profesi lain. Di samping itu pula didukung oleh tingkat kebutuhan yang semakin lama semakin meningkat tetapi tidak diimbangi dengan pemasukan yang cukup sehingga banyak para pekerja yang mencari pekerjaan lain yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari.
d. Bagi mereka yang lebih muda dari itu, makna loyalitas belum diserapi dan kecenderungan mereka masih lebih mengarah kepada gaya hidup santai, apabila mungkin disertai dengan kesempatan “berhura – hura” Pada kenyataan sehari – hari banyak sekali terjadi kecurangan – kecurangan yang dilakukan oleh para karyawan yang umumnya mempunyai umur relatif muda hal itu juga dipicu oleh tingkat angan – angan yang tinggi, tetapi tidak diiringi oleh tingkat kerajinan yang tinggi dari dalam dirinya sendiri, oleh karena itu tingkat penganggguran semakin lama semakin meningkat (S. Alex Nitisemito, 1991:170-171).

Contoh Kasus MANAJER DAN LINGKUNGAN GLOBAL


Posted by sjafri mangkuprawira 

         Perusahaan  Cemex, adalah produsen semen ketiga terbesar di dunia dan telah menjadi unggul di pasar global   dengan secara terus-menerus bekerja untuk meningkatkan layanan yang diberikan kepada para pelanggannya, dimana pun mereka berada. Cemex (www.cemex.com), berpusat di Monterrey, Meksiko, mengikuti prinsip-prnsip tertentu yang diyakini membuat “Cemex” menjadi berbeda”. Prinsip itu mencakup peningkatan layanan pelanggan, teknologi yang berfokus pada pelanggan, efisiensi operasi, pengembangan manajemen, efisiensi ekologi, memberdayakan orang-orang, kepemimpinan pasar, berpikiran strategis, bersemangat untuk belajar, dan berpandangan global.
Cemex yakin bahwa untuk berhasil dalam lingkungan global yang ketat persaingannya, manajer memerlukan sudut pandang yang multi budaya. Perusahaan itu telah melaksanakan beberapa inisiatif yang mencangkup program pendidikan yang mendorong komunikasi yang efektif dan penyatuan kantor-kantor Cemex di seluruh dunia, program ekspatriat yang melalui program itu para eksekutif  dari negara-negara yang berbeda diberi posisi kunci di sejumlah fasilitas di negara asing, dan kegiatan lain yang memberi peluang para manajer untuk memperbanyak pengalaman globalnya. Manajer perusahaan seperti Raymundo Gonzales, seorang manajer divisi perdagangan internasional, menemukan betapa pentingnya memahami pengelolaan dalam lingkungan global.
Walaupun ditempatkan di Monterrey, Meksiko, Gonzales akan sering bekerja di operasi Camex di Asia, terutama di Indonesia, Semen Gresik. Perusahaan yang beroperasi di bidang pabrikasi itu merupakan yang terbesar bagi Cemex di luar Meksiko. Sebelumnya secara resmi bergabung dengan Gresik, Cemex telah banyak melakukan perdagangan semen di Asia. Tidak diragukan lagi bahwa bisnis di Asia tersebut penting bagi rencana masa depan Cemex.
Ada beberapa kesamaan antara Meksiko dan Indonesia. Keduanya adalah negara berkembang di mana perusahaan harus menciptakan iklim kerja yang menyenangkan dan mereka kadangkala harus bekerja dengan teknologi yang terbatas. Tetapi perbedaannya tampaknya jauh lebih besar. Sebagai contoh, karakteristik budaya kedua negara itu sangat berbeda. Mayoritas agama (Katolik dan Islam), selera musik, dan makanan adalah beberapa perbedaan yang harus dihadapi oleh para manajer Cemex. Tidak mudah bagi para manajer Cemex untuk melakukan penyesuaian segera. Begitu pula bagaimana pendekatan yang diperlukan agar orang Meksiko dan Indonesia dapat bekerjasama dengan sang manajer. (Sumber: Robbins & Coulter, 2002)   

Kamis, 25 April 2013

Faktor yang mempengaruhi Kinerja.



Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi (determinan) kinerja personel, dilakukan pengkajian terhadap beberapa teori kinerja.
Gibsons (1996) menyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja personel. Perilaku yang berpengaruh terhadap kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas.
Variabel individu menurut Gibson (1996) dikelompokan pada sub variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang dan demografis. Sub variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Variabel demografis, mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu. Variabel psikologis  terdiri dari sub variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson, banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang komplek dan sulit diukur. Gibson (1996) juga menyatakan sukar dicapai kesepakatan tentang pengertian dari variabel tersebut, karena seorang individu masuk dan bergabung dalam organi-sasi kerja pada usia, etnis, latar belakang, budaya dan ketrampilan yang berbeda satu dengan lainnya. Varibel organisasi, menurut Gibson (1996) mempunyai efek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu. Variabel organisasi digolongkan dalam sub-variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan disain pekerjaan.
Kopelman (1998) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja adalah: karakteristik individu, karakteristik organisasi dan karakteristik pekerjaan, lebih lanjut Kopelman menjelaskan bahwa kinerja selain dipengaruhi oleh faktor diatas juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Menurut Kopelman karakteristik individu terdiri dari: kemampuan, pengetahuan, ketrampilan, motivasi, norma, dan nilai, sedang karakteristik individu yang lain seperti kepribadian, umur dan jenis kelamin, tingkat pendidikan, suku bangsa, keadaan sosial ekonomi, pengalaman terhadap keadaan yang lalu, akan menentukan perilaku kerja dan produktivitas kerja, baik individu maupun organisasi. Karakteristik organisasi terdiri dari: sistem imbalan, seleksi dan pelatihan, struktur organisasi, visi dan misi organisasi serta kepemimpinan; sedangkan karakteristik pekerjaan terdiri dari: deskripsi pekerjaan, disain pekerjaan dan jadwal kerja.
Ilyas (2001) lebih lanjut menjelaskan bahwa teori yang dikembangkan oleh Gibson dan Kopelman berdasarkan penelitian dan pengalaman yang mereka temukan pada sampel dan komunitas masyarakat negara maju seperti Amerika Serikat. Pada teori yang mereka sampaikan tidak tampak peran variabel supervisi dan kontrol dalam hubungannya dengan kinerja. Hal ini dimungkinkan kedua variabel tersebut tidak berperan secara bermakna bagi masyarakat maju seperti Amerika Serikat, artinya budaya kerja pekerja Amerika sudah dalam kondisi tidak membutuhkan kontrol dan supervisi yang ketat dari organisasi dan atasan mereka, tingkat kinerja mereka sudah pada tingkatan yang optimum. Dengan kata lain setiap pekerja melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya dengan pengawasan yang melekat pada setiap pekerja telah berjalan dengan baik. Pada negara berkembang seperti Indonesia, variabel supervisi dan kontrol masih sangat penting pengaruhnya dengan kinerja individu. Menurut penelitian Ilyas (2001) dengan topik: Determinan Kinerja Dokter PTT, ditemukan bahwa supervisi atasan mempunyai hubungan yang bermakna dengan kinerja dokter PTT.
Hall TL dan Meija (1987) dalam Ilyas (2001) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja adalah: faktor internal individu yang terdiri dari:
(1) karakteristik individu seperti umur, pendapatan, status perkawinan, pengalaman kerja dan masa kerja.
(2). Sikap terhadap tugas yang terdiri persepsi, pengetahuan, motivasi, tanggung-jawab dan kebutuhan terhadap imbalan, sedang faktor eksternal meliputi sosial ekonomi, demografi, geografi, lingkungan kerja, aseptabilitas, aksesabilitas, beban kerja dan organisasi yang terdiri pembinaan, pengawasan, koordinasi, dan fasilitas.

Pengukuran Kinerja


As’ad (2003) mengatakan bahwa untuk mengukur job performance, masalah yang paling penting adalah menetapkan kriterianya.
 Menurut Jessup & Jessup (1975) dalam As’ad (2003), yang pertama diperlukan dalam hal ini adalah ukuran mengenai sukses, dan bagian-bagian mana yang dianggap penting sekali dalam suatu pekerjaan. Usaha untuk menentukan ukuran tentang sukses ini amatlah sulit, karena seringkali pekerjaan itu begitu komplek sehingga sulit ada ukuran output yang pasti. Hal seperti ini terutama terdapat pada jabatan-jabatan yang bersifat administratif.
Bellows (1961) dalam As’ad (2003) menyebutkan bahwa syarat kriteria kinerja yang baik ialah apabila lebih reliabel, realistis, representatif dan bisa predictable. Sedangkan Maier (1965) dalam As’ad (2003) mengatakan bahwa yang umum dianggap sebagai kriteria kinerja antara lain ialah: kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi, dan keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan. Dikatakan selanjutnya bahwa dimensi mana yang penting adalah berbeda antara pekerjaan yang satu dengan lainnya.
Jika kriteria kinerja pekerjaan sudah ditetapkan, maka langkah berikutnya dalam mengukur performance adalah mengumpulkan informasi yang berhubung-an dengan hal-hal tersebut dari seseorang selama periode tertentu. Dengan membandingkan hasil ini terhadap standart yang dibuat untuk periode waktu yang bersangkutan, akan didapatkan level of performance seseorang.

Penilaian Kinerja


Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja ( performance appraisal ) pada dasarnya merupakan faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja karyawan.
Menurut Bernardin dan Russel ( 1993 : 379 ) “ A way of measuring the contribution of individuals to their organization “. Penilaian kinerja adalah cara mengukur konstribusi individu ( karyawan) kepada organisasi tempat mereka bekerja.
Menurut Cascio ( 1992 : 267 ) “penilaian kinerja adalah sebuah gambaran atau deskripsi yang sistematis tentang kekuatan dan kelemahan yang terkait dari seseorang atau suatu kelompok”.
Menurut Bambang Wahyudi ( 2002 : 101 ) “penilaian kinerja adalah suatu evaluasi yang dilakukan secara periodik dan sistematis tentang prestasi kerja / jabatan seorang tenaga kerja, termasuk potensi pengembangannya”.
Menurut Henry Simamora ( 338 : 2004 ) “ penilaian kinerja adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan”.

 Syarat Penilaian Kinerja
Terdapat kurang lebih dua syarat utama yang diperlukan guna melakukan penilaian kinerja yang efektif, yaitu:
 (1) adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif; dan
 (2) adanya objektivitas dalam proses evaluasi (Gomes, 2003).
Sedangkan dari sudut pandang kegunaan kinerja itu sendiri, Sondang Siagian (2002) menjelaskan bahwa bagi individu penilaian kinerja berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, keletihan, kekurangan dan potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan karirnya. Sedangkan bagi organisasi, hasil penilaian kinerja sangat penting dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan tentang berbagai hal seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan, rekrutmen, seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem balas jasa, serta berbagai aspek lain dalam proses manajemen sumber daya manusia. Berdasarkan kegunaan tersebut, maka penilaian yang baik harus dilakukan secara formal berdasarkan serangkaian kriteria yang ditetapkan secara rasional serta diterapkan secara objektif serta didokumentasikan secara sistematik.
Dengan demikian, dalam melalukan penilaian atas prestasi kerja para pegawai harus terdapat interaksi positif dan kontinu antara para pejabat pimpinan dan bagian kepegawaian

Tujuan Penilaian Kinerja
Menurut Syafarudin Alwi ( 2001 : 187 ) secara teoritis tujuan penilaian dikategorikan sebagai suatu yang bersifat evaluation dan development yang bersifat efaluation harus menyelesaikan :
1.Hasil penilaian digunakan sebagai dasar pemberian kompensasi
2.Hasil penilaian digunakan sebagai staffing decision
3.Hasil penilaian digunakan sebagai dasar meengevaluasi sistem seleksi.
Sedangkan yang bersifat development penilai harus menyelesaikan :
1.Prestasi riil yang dicapai individu
2.Kelemahan- kelemahan individu yang menghambat kinerja
3.Prestasi- pestasi yang dikembangkan.

Metode Penelitian Kerja
Terdapat beberapa metode dalam mengukur prestasi kerja, sebagaimana diungkapkan oleh Gomes (2003:137-145), yaitu :
  1. Metode Tradisional.
 Metode ini merupakan metode tertua dan paling sederhana untuk menilai prestasi kerja dan diterapkan secara tidak sistematis maupun sistematis. Yang termasuk kedalam metode tradisional adalah : rating scale, employee comparation, check list, free form essay, dan critical incident.
(a)   Rating scale
Metode ini merupakan metode penilaian yang paling tua dan banyak digunakan, dimana penilaian yang dilakukan oleh atasan atau supervisor untuk mengukur karakteristik, misalnya mengenai inisitaif, ketergantungan, kematangan, dan kontribusinya terhadap tujuan kerjanya.
(b)   Employee comparation
Metode ini merupakan metode penilaian yang dilakukan dengan cara membandingkan antara seorang pegawai dengan pegawai lainnya. Metode ini terdiri dari:
·         Alternation ranking : yaitu metode penilaian dengan cara mengurutkan peringkat (ranking) pegawai dimulai dari yang terendah sampai yang tertinggi berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
·         Paired comparation : yaitu metode penilaian dengan cara seorang pegawai dibandingkan dengan seluruh pegawai lainnya, sehingga terdapat berbagai alternatif keputusan yang akan diambil. Metode ini dapat digunakan untuk jumlah pegawai yang relatif sedikit.
·         Porced comparation (grading) : metode ini sama dengan paired comparation, tetapi digunakan untuk jumlah pegawai yang relative banyak
(c)    Check list.
Metode ini hanya memberikan masukan/informasi bagi penilaian yang dilakukan oleh bagian personalia.
(d)   Freeform essay.
Dengan metode ini seorang penilai diharuskan membuat karangan yang berkenaan dengan orang/karyawan/pegawai yang sedang dinilainya.
(e)    Critical incident 
Dengan metode ini penilai harus mencatat semua kejadian mengenai tingkah laku bawahannya sehari-hari yang kemudian dimasukan kedalam buku catatan khusus yang terdiri dari berbagai macam kategori tingkah laku bawahannya. Misalnya mengenai inisiatif, kerjasama, dan keselamatan.
  1. Metode Modern.
 Metode ini merupakan perkembangan dari metode tradisional dalam menilai prestasi kerja. Yang termasuk kedalam metode modern ini adalah : assesment centre,Management By Objective (MBO=MBS), dan human asset accounting.
(a)   Assessment centre.
 Metode ini biasanya dilakukan dengan pembentukan tim penilai khusus. Tim penilai khusus ini bisa dari luar, dari dalam, maupun kombinasi dari luar dan dari dalam.
(b)   Management by objective (MBO = MBS).
Dalam metode ini pegawai langsung diikutsertakan dalam perumusan dan pemutusan persoalan dengan memperhatikan kemampuan bawahan dalam menentukan sasarannya masing-masing yang ditekankan pada pencapaian sasaran perusahaan.
(c)    Human asset accounting
Dalam metode ini, faktor pekerja dinilai sebagai individu modal jangka panjang sehingga sumber tenaga kerja dinilai dengan cara membandingkan terhadap variabel-variabel yang dapat mempengaruhi keberhasilan perusahaan.

Manfaat Penilaian Kinerja
Kontribusi hasil-hasil penilaian merupakan suatu yang sangat bermanfaat bagi perencanaan kebijakan organisasi adapun secara terperinci penilaian kinerja bagi organisasi adalah :
1.Penyesuaian-penyesuaian kompensasi
2.Perbaikan kinerja
3.Kebutuhan latihan dan pengembangan
4.Pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi, pemecatan,       pemberhentian dan perencanaan tenaga kerja.
5.Untuk kepentingan penelitian pegawai
6.Membantu diagnosis terhadap kesalahan desain pegawai

Teori Kinerja
            Heider (1958) dalam As’ad (2003) mengemukakan teori atribusi  atau Expectancy Theory bahwa kinerja merupakan hasil interaksi antara motivasi dan ability, yang dirumuskan dengan formula sebagai berikut: P(Performance) merupakan fungsi M(Motivation) dan A(Ability) yang dapat ditulis sebagai rumus: P = f (M x A). Konsep diatas juga didukung oleh Maier (1965), Lawler dan Porter (1967) dan Vroom (1964). Berdasarkan teori diatas maka seseorang tenaga kesehatan yang rendah dalam salah satu komponennya maka kinerjanya akan rendah pula, dengan demikian dapat pula diartikan bahwa tenaga kesehatan yang kinerjanya rendah, maka hal tersebut dapat merupakan hasil dari motivasinya yang rendah atau kemampuannya yang kurang atau kedua-duanya yaitu motivasi dan kemampuannya yang rendah.

            Vroom (1964) dalam As’ad (2003) menjelaskan bahwa tinggi rendahnya motivasi seserang ditentukan oleh interaksi perkalian dari tiga komponen, yaitu Valence (nilai-nilai),Instrumentality (alat) dan Expectancy (harapan) jadi M = f (V x I x E).
Muchlas (1997) dalam Wulandari (2004) menjelaskan bahwa meskipun seseorang mempunyai kemampuan dan kemauan, tapi mungkin saja ada penghalang yang bisa menghambat prestasinya. Jadi seseorang yang menunjukan kinerja yang tidak baik, maka harus dilihat lingkungan luarnya apakah sudah cukup membantu, seperti apakah memiliki kelengkapan peralatan dan bahan, kondisi kerja yang favorable, teman kerja yang membantu, peraturan yang mendukung dan prosedur kerja dengan alokasi waktu yang cukup. Jika semua tidak ada maka jangan diharapkan muncul suatu prestasi kerja yang minimal sekalipun.