Rabu, 08 Mei 2013

FOKUS PERKEMBANGAN PELAYANAN DASAR



1.      self  esteem (penghargaan diri)
Contoh            :
a)      Pendidikan      : pendidikan mengajarkan bagaimana cara menghargai orang dan menghargai diri sendiri.
b)      Pekerjaan         : pekerjaan yang kita lakukan harus dengan percaya diri maka dari itumenghargai apa yang dilakukan diri sendiri patut untuk dihargai.
c)      Sosial budaya  : sosial mengajarkan diri  untuk menjadikan diri lebih baik dan percaya diri.
2.      Motivasi berprestasi
Contoh            :
a)      Pendidikan      : di dunia pendidikan kita pasti mendapatkan motivasi-motivasi yang sangat pentig untuk menunjang prestasi kita.
b)      Pekerjaan         : pekerjaan mengajarkan banyak untuk memotivasi diri dengan pengalaman yang kita dapatkan saat menempuhnya, dan motivasi itulah yang nantinya kita aplikasikan untuk mencapai prestasi yang kita inginkan.
c)      Sosial budaya : motivasi-motivasi yang banyak diberikan dengan lingkungan sekitar kita juga dapat menunjang prestasi.
3.      Keterampilan mengambil keputusan
Contoh            :
a)      Pendidikan      : mengambil keputusan dengan bijak adalah salah satu bagian pengajaran dari pendidikan.
b)      Pekerjaan         : mengambil keputusan yang terampil sangat diperlukan dalam melakukan pekerjaan karena jika tidak bijak pekerjaan yang dilakukan akan sangat fatal hasilnya.
c)      Sosial budaya  : musyawarah adalah hal yang penting untuk mencapai keputusan bersama, dari itu kita dapat belajar bagaimana cara bijak yang baik untuk mengambil keputusan.
4.      Keterampilan pemecahan masalah.
Contoh            :
a)      Pendidikan      : melihat dari penyebab masalah yang terjadi dengan logika berunsur pada pembelajaran diri seseorang hingga pemecahan masalahnya dapat menjadi suatu yang berkarakter.
b)      Pekerjaan         : dalam pemecahan masalah seperti pada suatu perusahaan mengalami kebangkrutan, seorang pemimpin harus mampu memecahkan masalhnya dengan melihat pengeluaran serta tenaga kerja y ang tersedia.
c)      Sosial budaya : dalam masyarakat bila ada perkelahian antar warga mampu menyelesaikannya dengan cara bermusyawarah dengan ketua .
5.      Keterampilan hubungan antar pribadi atau berkomunikasi.
Contoh            : 
a)      Pendidikan      : seorang mahasiswa, harus mampu berkomunikasi dengan dosen, mampu bertanya dan mengemukakan pendapat.
b)      Pekerjaan         : sebagai karyawan baru dalam melamar pekerjaan mampu menjalankan interview dengan komunikasi yang baik dan dengan tutur bahasa yang sopan dann santun.
c)      Sosial budaya : hidup dalam bermasyarakat, seperti berbicara dengan tetangga seperti menanyakan keadaan dan kondisinya.

6.      penyadaran keragaman budaya
Contoh            :
b)   pekerjaan : dalam pemilihan pimpinan, tidak menilai berasal dari suku atau ras apa pun. Tapi yang di pilih adalah pimpinan yang mampu merangkul karyawannya, walau dengan suku yang berbeda-beda. Seperti kata pepatah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
c)     sosial : Manusia dalam kehidupannya, baik secara individu maupun kelompok tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sekitar di mana ia hidup. Berbagai budaya menyatu dalam masyarakat, dengan rasa saling toleransi dan menghargai satu sama lain. Terwujudnya persaudaraan tanpa memandang suku dan ras atau etnis.

7.      perilaku bertanggung jawab
contoh             :
a)      pendidikan : seorang siswa, harus bertanggung jawab, dalam hal mengerjakan tugas, turun sekolah tanpa terlambat. Dan mengikuti semua tata tertib sekolah
b)       pekerjaan : seorang karyawan, harus bisa mengikuti semua aturan yang ada di kantor. Mampu, menjalankan dengan baik sesuai dengan kompetensi yang di miliki dan profesional dalam bekerja
c)      sosial : tanggung jawab ketua rt dan rw untuk membuat keputusan-keputusan yang melindungi, meningkatkan  kesejahteraan, dan kemakmuran stakeholder dan seluruh masyarakat


PELANGGARAN TERHADAP KODE ETIK BAGI KONSELOR


   
A.  Pendahuluan
Konselor wajib mengkaji secara sadar tingkah laku dan perbuatannya bahwa ia mentaati kode etik. Konselor wajib senantiasa mengingat bahwa setiap pelanggaran terhadap kode etik akan merugikan diri sendiri, konseli, lembaga dan pihak lain yg terkait. Pelanggaran terhadap kode etik akan mendapatkan sangsi yang mekanismenya menjadi tanggung jawab Dewan Pertimbangan Kode Etik ABKIN sebagaimana diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ABKIN, Bab X, Pasal 26 ayat 1 dan 2 sebagai berikut:
1)   Pada organisasi tingkat nasional dan tingkat propinsi dibentuk DEWAN PERTIMBANGAN KODE ETIK BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA.
2)   Dewan Pertimbangan Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1) mempunyai fungsi pokok:
a.    Menegakkan penghayatan dan pengalaman Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia.
b.    Memberikan pertimbangan kepada Pengurus Besar atau Pengurus Daerah ABKlN atau adanya perbuatan melanggar Kode Etik Bimbingan dan Konseling oleh Anggota setelah mengadakan penyelidikan yang seksama dan bertanggungjawab.
c.    Bertindak sebagai saksi di pengadilan dalam perkara berkaitan dengan profesi bimbingan dan konseling.

B.   Bentuk Pelanggaran
1.    Terhadap Konseli
a.    Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang yang tidak terkait dengan kepentingan konseli.
b.    Melakukan perbuatan asusila (pelecehan seksual, penistaan agama, rasialis).
c.    Melakukan tindak kekerasan (fisik dan psikologis) terhadap konseli.
d.    Kesalahan dalam melakukan pratik profesional (prosedur, teknik, evaluasi, dan tindak lanjut).

2.    Terhadap Organisasi Profesi
a.    Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
b.    Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organisasi profesi untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok).



3.    Terhadap Rekan Sejawat dan Profesi Lain Yang Terkait
a.    Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik (penghinaan, menolak untuk bekerja sama, sikap arogan).
b.    Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki keahlian sesuai dengan masalah konseli.

C.  Sangsi Pelanggaran
Konselor wajib mematuhi kode etik profesi Bimbingan dan Konseling. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik Profesi Bimbingan dan Konseling maka kepadanya diberikan sangsi sebagai berikut.
1.    Memberikan teguran secara lisan dan tertulis.
2.    Memberikan peringatan keras secara tertulis.
3.    Pencabutan keanggotan ABKIN.
4.    Pencabutan lisensi.
5.    Apabila terkait dengan permasalahan hukum/ kriminal maka akan diserahkan pada pihak yang berwenang.

D.  Mekanisme Penerapan Sangsi
Apabila terjadi pelanggaran seperti tercantum diatas maka mekanisme penerapan sangsi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.    Mendapatkan pengaduan dan informasi dari konseli dan atau masyarakat.
2.    Pengaduan disampaikan kepada dewan kode etik di tingkat daerah.
3.    Apabila pelanggaran yang dilakukan masih relatif  ringan maka penyelesaiannya dilakukan oleh dewan kode etik di tingkat daerah.
4.    Pemanggilan konselor yang bersangkutan untuk verifikasi data yang disampaikan oleh konseli dan atau masyarakat.
5.    Apabila berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh dewan kode etik daerah terbukti kebenarannya maka diterapkan sangsi sesuai dengan masalahnya.


Kode Etik Bimbingan Konseling Di Indonesia



A Latar Belakang
Pelayanan bimbingan dan konseling secara profesional di Indonesia sampai saat ini masih terfokus pada generasi muda yang masih duduk dibangku pendidikan formal atau di sekolah. itupun nampaknya yang paling terrealisasi hanyalah pada jenjang pendidikan sekolah menegah dan perguruan tinggi saja. Hampir semua tenaga bimbingan konseling profesional yang telah mendapat pendidikan formal di bidang bimbingan dan konseling, bertugas dilembaga-lembaga pendidikan di atas jenjang pendidikan dasar. Diantara tenaga-tenaga bimbingan dan konseling itu sebagian terbesar terlibat didalam jenjang pendidikan menegah. Kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling yang diwujudkan dalam suatu program bimbingan dan konseling yang terorganisasi dan terencana, sampai saat ini lebih banyak dikembangkan untuk jenjang pendidikan ditingkat menengah. sehingga seakan-akan ia menjadi urutan yang pertama. Kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan oleh tenaga-tenaga profesional dijenjang pendidikan tinggi menempati urutan ke dua dan kegiatan bimbingan konseling yang dilaksanakan di jenjang pendidikan dasar menempati urutan ketiga. Kenyataan ini hendaknya tidak harus berarti bahwa, urutan prioritas yang terdapat dilapangan, sebagaimana dijelaskan di atas, tidak dapat diubah menjadi urutan prioritas yang berbeda.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan di atas, maka dalam penyelenggaraan kegiatan bimbingan dan konseling terhadap siswa yang berada di sekolah menengah maupun mahasiswa yang sedang menimba bebagai macam ilmu di perguruan tinggi perlu kira mendapatkan perhatian yang memadai. Dengan berlandaskan pada proses pelaksanaan kegiatan dan definisi ataupun pengertian bimbingan dan konseling, dapat di identifikasi 4 (empat) masalah yang mempunyai relevansi terkait dengan ruang lingkup kehidupan siswa dan mahasiswa saat ini, yaitu; (1). Dunia nasional maupun internasional serta ruang gerak kehidupan mereka, (2). Alam pikiran dan perasaan mereka pada saat ini; (3). Bidang pendidikan sekolah yang mengisi sebagian besar dari waktu mereka setiap harinya dan (4). Kode etik profesi Bimbingan dan konseling, agar para pelaksana bimbingan dan konseling dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar, serta bertanggung jawa atas segala tindakannya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar
Landasan atau dasar Kode Etik Profesi Konselor di Indonesia adalah (a) Pancasila, mengingat bahwa profesi konselor merupakan usaha pelayanan terhadap sesama manusia yang bersifat ilmiah dan essensial dalam rangka ikut membina warga negara yang efektif dan bertanggung jawab, dan (b)tuntutan profesi mengacu kepada kebutuhan dan kebahagiaan klien esuai dengan norma-norma yang berlaku.

B. Ciri-Ciri Suatu Profesi
Suatu profesi ialah pekerjaan yang dipegang oleh orang-orang yang mempunyai dasar pengetahuan, keterampilan, dan sikap khusus tertentu dan pekerjaan itu diakui oleh masyarakat sebagai suatu keahlian. Keahlian tersebut menuntut dipenuhinya standar persiapan profesi melalui pendidikan khusus di perguruan tinggi dan pengalaman kerja dalam bidang tersebut. Selanjutnya, keanggotaan dalam profesi menuntut keikutsertaan secara aktif dalam ikatan kegiatan profesi melalui berbagai penelitian dan percobaan, serta usaha-usaha lain untuk pertumbuhan diri dalam profesi selama hidup tanpa mencari keuntungan pribadi.

C. Pengertian Kode Etik Profesi
Kode etik profesi adalah pola atau ketentuan atau aturan atau tata cara yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugas dan aktivitas suatu profesi. Pola ketentuan/aturan/tata cara tersebut seharusnya diikuti oleh setiap orang yang berkeinginan untuk ikut serta menjalankan profesi tersebut.

D. Perlunya Kode Etik Profesi
Kode etik profesi diperlukan agar anggota profesi atau konselor dapat tetap menjaga standar mutu dan status profesinya dalam batas-batas yang jelas dengan anggota profesi dan profesi-profesi lainnya, sehingga dapat dihindarkan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan tugas oleh mereka yang tidak langsung terjun dalam bidang bimbingan dan konseling. Kode etik konselor ini diperuntukkan bagi para pembimbing atau konselor yang memberikan layanan bimbingan dan konseling , dengan pengertian bahwa layanan bimbingan konseling dapat dibedakan dari bentuk-bentuk layanan profesional lainnya, karena sifat-sifat khas dari layanan profesional bimbingan dan konseling. Profesional lain, yang bukan konselor, mungkin dapat mengambil ilham dari keyakinan-keyakinan yang menjiwai kode etik ini.

BAB III
KUALIFIKASI DAN KEGIATAN PROFESIONAL KONSELOR

A. Kualifikasi
Konselor yang tergabung dalam Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia harus memiliki (1) nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang profesi konseling, dan (2) Pengakuan atas kemampuan, dan kewenangan sebagai konselor.
1. Nilai, Sikap, Pengetahuan, Wawasan, Keterampilan.
 a. Agar dapat memahami orang lain dengan sebaik-baiknya, konselor harus terus-menerus berusaha mengembangkan dan menguasai dirinya. Ia harus mengerti kekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya sendiri, yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dan mengakibatkan rendahnya layanan mutu professional serta merugikan orang lain.
b. Dalam melakukan tugasnya membantu klien, konselor harus memperlihatkan sifat-sifat sederhananya, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, jujur, tertib, dan hormat.
c. Konselor harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap saran dan peringatan yang diberikan kepadanya, khususnya dari rekan-rekan seprofesi dalam hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tingkah laku profesional sebagaimana diatur dalam kode etik ini.
d. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus mengusahakan mutu kerja yang setinggi mungkin, kepentingan pribadi, termasuk keuntungan finansial dan material tidak diutamakan.
e. Konselor harus terampil menggunakan teknik-teknik dan prosedur-prosedur khusus yang dikembangkan tas dasar wawasan yang luas dan kaidah-kaidah ilmiah.
2. Pengakuan Wewenang
Untuk dapat bekerja sebagai konselor atau guru pembimbing, diperlukan pengakuan keahlian dan kewenangan oleh badan khusus yang dibentuk oleh organisasi profesi atas dasar wewenang yang diberikan kepada organisasi profesi tersebut oleh pemerintah.



B. Informasi, Testing, dan Riset
1. Penyimpanan dan penggunaan informasi
a.       Catatan tentang klien yang meliputi data hasil wawancara, testing, surat-menyurat, perekaman, dan data lainnya, semuanya merupakan informasi yang bersifat rahasia dan hanya boleh digunakan untuk kepentingan klien. Penggunaan data/informasi untuk keperluan riset atau pendidikan calon konselor dimungkinkan, sepanjang identitas klien dirahasiakan.
b.      Penyampaian informasi mengenai klien kepada keluarga atau kepada anggota profesi yang lain, membutuhkan persetujuan klien.
c.       Penggunaan informasi tentang klien dalam rangka konsultasi dengan anggota profesi yang sama atau yang lain dapat dibenarkan, asalkan untuk kepentingan klien dan tidak merugikan klien.
d.      Keterangan mengenai bahan profesional hanya boleh diberikan kepada orang yang berwenang menafsirkan dan menggunakannya.
2. Testing
a. Suatu jenis tes hanya boleh diberikan oleh petugas yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya. Konselor harus selalu memeriksa dirinya apakah ia mempunyai kewenangan yang dimaksud.
 b. Testing diperlukan apabila proses pemberian layanan memerlukan data tentang sifat atau ciri kepribadian yang menuntut adanya perbandingan dengan sampel yang lebih luas, misalnya taraf intelegensi, minat, bakat khusus dan kecendrungan pribadi seseorang .
 c. Data yang diperoleh dari hasil testing itu harus diintegrasikan dengan informasi lain yang telah diperoleh baik melalui klien sendiri ataupun dari sunber lain.
d. Data hasil testing harus diperlakukan setaraf dengan data dan informasi lain tentang klien.
e. Konselor harus memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengenai alasan digunakannya tes dan apa hubungannya dengan masalahnya. Hasilnya harus disampaikan kepada klien dengan disertai penjelasan tentang arti dan kegunaannya.
f. Penggunaan suatu jenis tes harus mengikuti pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes yang bersangkutan.
g. Data hasil testing hanya dapat diberitahukan kepada pihak lain sejauh pihak lain yang diberitahu itu ada hubungannya dengan usaha bantuan atau layanan kepada klien dan tidak merugikan klien.

3. Riset
a. Dalam melakukan riset, dimana tersangkut manusia dengan masalahnya sebagai subjek, harus dihindari hal-hal yang dapat merugikan subjek yang bersangkutan.
b. Dalam melaporkan hasil riset di mana tersangkut klien sebagai subjek, harus dijaga agar identitas subjek dirahasiakan.

C. Proses Layanan
1.      Hubungan dalam pemberian layanan
a.       Kewajiban konselor haru menangani klien berlangsung selama ada kesempatan dalam hubungan antara klien dengan konselor. Kewajiban itu berakhir jika hubungan konseling berakhir dalam arti, klien mengakhiri hubungan kerja dengan konselor tidak lagi bertugas sebagai konselor .
b.      Klien sepenuhnya berhak untuk mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai hasil yang kongkret. Sebaliknya konselor tidak akan melanjutkan hubungan apabila klien ternyata tidak memperoleh manfaat dari hubungan itu
2. Hubungan dan klien
 a. Konselor harus menghormati harkat pribadi, integritas, dan keyakinan klien.
b. Konselor harus menempatkan kepentingan, kliennya diatas kepentingan pribadinya. Demikian pun dia tidak boleh memberikan layanan bantuan di luar bidang pendidikan, pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya.
c. Dalam menjalankan tugasnya, konselor harus tidak mengadakan perbedaan klien tas dasar suku, bangsa, warna kulit, agama, atau status sosial ekonomi.
d. Konselor tidak akan memaksa untuk memberikan bantuan kepada seseorang dan tidak akan mencampuri urusan pribadi orang lain tanpa izin diri orang yang bersangkutan.
e. Konselor bebas memilih siapa yang akan diberi bantuan kepada seseorang, akan tetapi ia harus memperhatikan setiap permintaan bantuan, lebih-lebih dalam keadaan darurat atau apabila banyak orang yang menghendaki.
Kalau konselor sudah turun tangan membantu seseorang, maka dia tidak akan melalaikan klien tersebut, walinya tau orang yang bertanggung jawab kepadanya.
f. Konselor wajib memberikan pelayanan hingga tuntas sepanjang dikehendaki klien
g. Konselor harus menjelaskan kepada klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab terhadap klien.
h. Hubungan konselor mengandung kesetiaan ganda kepada klien, masyarakat, atasan dan rekan-rekan sejawat.
1)   Apabila timbul masalah dalam soal kesetiaan ini, maka harus diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan juga tuntutan profesinya sebagai konselor. Dalam hal ini terutama sekali harus diperhatikan adalah kepentingan klien.
2)   Apabila timbul masalah antara kesetiaan antara klien dan lembaga tempat konselor bekerja, maka konselor harus menyampaikan situasinya kepada klien dan atasannya. Dalam hal ini klien harus diminta untuk mengambil keputusan apakah ia ingin meneruskan hubungan konseling dengannya.
 i. Konselor tidak akan memberikan hubungan profesional kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya, apabila hubungan profesional dengan orang-orang tersebut mungkin dapat terancam oleh kaburnya peranan masing-masing.

D. Konsultasi dan Hubungan dengan Rekan Sejawat atau ahli lain.
1. Konsultasi dengan Rekan Sejawat
Dalam rangka pemberian layanan kepada seorang klien, kalau konselor merasa ragu-ragu tentang suatu hal maka ia harus berkonsultasi dengan rekan-rekan sejawat se lingkungan seprofesi. Untuk itu ia harus mendapat izin terlebih dahulu dari klien.
2.      Alih tangan tugas
a.       Konselor harus mengakhiri hubungan konseling dengan seseorang klien apabila pada akhirnya dia menyadari tidak dapat memberikan pertolongan kepada klien tersebut, baik karena kurangnya kemampuan keahlian maupun keterbatasan pribadinya.
b.      Dalam hal ini konselor mengizinkan klien untuk berkonsultasi dengan petugas atau badan lain yang lebih ahli, atau ia akan mengirimkan kepada orang atau badan ahli tersebut, tetapi harus dasar persetujuan klien. Bila pengiriman ke ahli lain disetujui klien, maka menjadi tanggung jawab konselor untuk menyarankan kepada klien orang atau badan yang mempunyai keahlian khusus.
c.       Bila konselor berpendapat klien perlu dikirim ke ahli lain, akan tetapi klien menolak pergi kepada ahli yang disarankan oleh konselor, maka mempertimbangkan apa baik buruknya kalau hubungan yang sudah ada mau diteruskan lagi.

BAB IV
HUBUNGAN KELEMBAGAAN

A. Prinsip Umum
1.      Prinsip-prinsip yang berlaku dalam layanan individual, khususnya tentang penyimpanan serta penyebaran informasi tentang klien dan hubungan konfidensial antara konselor dengan klien, berlaku juga bila konselor bekerja dalam hubungan kelembagaan.
2.      Apabila konselor bertindak sebagai konsultan pada suatu lembaga, maka harus ada pengertian dan kesepakatan yang jelas antara konselor dan pihak lembaga dan dengan klien yang menghubungi konselor di tempat lembaga itu. Sebagai seorang konsultan, konselor harus tetap mengikuti dasar-dasar pokok profesi dan tidak bekerja atas dasar komersial.
B. Keterkaitan Kelembagaan
1. Setiap konselor yang bekerja dalam hubungan kelembagaan turut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan kerjasama dengan pihak atasan atau bawahannya, terutama dalam rangka layanan konseling dengan menjaga rahasia pribadi yang dipercayakan kepadanya.
2. Peraturan-peraturan kelembagaan yang diikuti oleh semua petugas dalam lembaga haru dianggap mencerminkan kebijaksanaan lembaga itu dan bukan pertimbangan pribadi. Konselor haru mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada atasannya. Sebaliknya ia berhak pula mendapat perlindungan dari lembga itu dalam menjalankan profesinya.
 3. Setiap konselor yang menjadi anggota staf suatu lembaga berorientasi kepada kegiatan-kegiatan dari lembaga itu dari pihak lain, pekerjaan konselor harus dianggap sebagai sumbangan khas dalam mencapai tujuan lembaga itu.
4. jika dalam rangka pekerjaan dalam suatu lembaga, konselor tidak cocok dengan ketentuan-ketentuan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berlaku di lembaga tersebut, maka ia wajib mengundurkan diri dari lembaga tersebut.



BAB V
PRAKTIK MANDIRI DAN LAPORAN KEPADA PIHAK LAIN

A. Konselor Praktik mandiri ( Privat )
1.   Konselor yang berpraktik mandiri ( privat ) dan tidak bekerja dalam hubungan kelembagaan tertentu, tetap menaati segenap kode etik jabatannya sebagai konselor, dan berhak untuk mendapat dukungan serta perlindungan diri dari rekan-rekan seprofesi.
2.   Konselor yang berpraktik mandiri wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari organisasi profesi ( ABKIN ).
B. Laporan Kepada Pihak Sekolah
Apabila konselor perlu melaporkan suatu hal tentang klien kepada pihak lain ( misalnya : pimpinan lembaga tempat ia bekerja ) ,atau kalau ia diminta keterangan tentang klien oleh petugas suatu badan diluar profesinya dan ia harus juga memberikan informasi itu ia harus sebijaksana mungkin dengan berpedoman pada pegangan bahwa dengan berbuat begitu klien tetap dilindungi dan tidak dirugikan

BAB VI
KETAATAN PROFESI

A. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
1.      Dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai konselor, konselor harus selalu mengaitkannya dengan tugas dan kewajibannya terhadap klien dan profesi sebagaimana dicantumkan dalam kode etik ini dan semuanya itu sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
2.      Konselor tidak dibenarkan menyalahgunakan jabatannya sebagai konselor untuk maksud untuk mencari keuntungan pribadi atau maksud-maksud lain yang dapat merugikan klien ataupun menerima komisi atau balas jasa dalam bentuk yang tidak wajar.

B. Pelanggaran kode etik
1. Konselor harus selalu mengkaji tingkah laku dan perbuatannya tidak melanggar kode etik ini.
2. Konselor harus senantiasa mengingat bahwa pelanggaran terhadap kode etik ini akan merugikan mutu proses dan hasil layanan yang diberikan, merugikan klien, lembaga dan pihak-pihak lain yang terkait, serta merugikan diri konselor sendiri dan profesinya.
3. Pelanggaran terhadap kode etik ini akan mendapatkan sanksi berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh ABKIN.

BAB VII
FENOMENA PELAKSANAAN KODE ETIK PROFESI KONSELOR DI LAPANGAN

Kode etik konselor Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota profesi bimbingan dan konseling Indonesia. Kode etik konselor diperlukan untuk melindungi anggota profesi sendiri dan kepentingan publik.Sebagai penjamin mutu layanan yang diberikan oleh konselor, kode etik berperan sebagai pedoman tingkah laku konselor dalam menjalankan aktifitas profesionalnya dan setiap konselor harus melaksanakan kode etik profesi dengan sebaik-baiknya. Beberapa fenomena di lapangan yang diberitakan dalam media cetak dan fenomena selama mengikuti kegiatan PPL II ketika menempuh S1 Bimbingan Konseling, di salah satu sekolah di kota Malang mengindikasikan masih adanya penyimpangan kode etik yang dilakukan konselor.
Secara umum tujuan diadakannya bimbingan dan konseling yaitu untuk membantu peserta didik atau siswa dalam memahami diri dan lingkungan, mengarahkan diri, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengembangkan potensi dan kemandirian diri secara optimal pada setiap tahap perkembangannya. Artinya dalam malaksanakannya guru pembimbing dituntut untuk dekat, akrab dan bersahabat dengan segala pola tingkah laku dan kepribadian siswa dalam batasan tertentu sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah yang dihadapi siswa.
Namun kenyataannya yang terjadi di lapangan cenderung berbeda dengan tujuan umum diatas. Yang terjadi adalah jarak pemisah yang cukup jauh antara guru BK dan siswa. Siswa merasa enggan untuk secara suka rela mendatangi konselor dalam mengatasi masalahnya. Berikut ini adalah beberapa fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan BK di sekolah :
1)      Guru BK sebagai polisi sekolah
Pada beberapa sekolah, guru BK adalah sosok yang “ditakuti”. Hal ini wajar karena dalam “mendisiplinkan” siswa. terkadang dilakukan dengan interogasi, razia, dan punishment (hukuman). Sehingga jika ditanyakan kepada siswa mengenai guru BK, banyak siswa yang merasa benci, tidak bersahabat dan cenderung memilih lebih baik menghindar saat bertemu guru BK, terutama saat mereka sedang dalam posisi melakukan kesalahan.
2)      Pelaksanaannya masih menggunakan pola tidak jelas.
Yang dimaksud dengan pola tidak jelas disini adalah tidak adanya aturan baku atau pola-pola tertentu yang ditetapkan sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah. Dalam penerapannya guru cenderung melakukan cara-cara yang “kasar” dan justru tidak mendidik. Misalnya ketika seorang siswa ketahuan merokok, siswa tersebut malah disuruh menghisap sepuluh batang rokok sekaligus. Hal ini tidaklah tepat. Memang tindakan ini akan dapat memberikan efek jera, namun disisi lain menghisap rokok dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang bersaan, justru akan membahayakan kesehatan siswa.
3)      Pendekatan yang dilakukan pada siswa bermasalah / klien masih menggunakan pendekatan klinik – klasik.
Dalam hal ini fokus penanganan BK dilakukan hanya kepada siswa yang berkeadaan dan mengalami hal-hal negatif, seperti nakal, membolos, malas membuat PR, dan lain sebagainya. Hubungan antara siswa dan guru pembimbing pun adalah sebagai atasan dan bawahan. Sehingga terdapat jarak yang sangat jauh antara keduanya.
Fenomena diatas jauh sekali dengan harapan bimbingan konseling sebagai profesi yang professional. Masih adanya praktek bimbingan konseling yang tidak sesuai dengan tujuan dan kode etik bimibingan konseling yang sudah di rumuskan oleh ABKIN.  Namun hal ini tidak bisa kita generalisasi atau berfikir secara umum jika kode etik bimbingan konseling tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, karena Puspitasari(2010) dalam penelitiannya tentang pelaksanaan kode etik konselor SMA/SMK se kota Malang menunjukkan bahwa 1) 55% konselor berada pada taraf tinggi, 45% konselor berada pada taraf cukup, 0% konselor berada pada taraf rendah dalam pelaksanaan kode etik, 2) Pada aspek kualifikasi dan kegiatan profesional konselor 42,5% konselor berada pada taraf tinggi, 57,5% cukup, dan 0% rendah, 3) pada aspek hubungan kelembagaan dan laporan kepada pihak lain 20% konselor berada pada taraf tinggi, 80% cukup, dan 0% rendah, 4) pada aspek ketaatan kepada profesi 95% konselor berada pada taraf tinggi, 5% cukup, dan 0% rendah.
Jika kita menelaah hasil penelitian diatas, maka bisa kita simpulkan bahwa pelaksanaan kode etik konselor di SMA/SMK se kota malang sebenarnya cukup tinggi. Untuk praktek professional konselor yang masing kurang dri harapan kita ada beberapa saran yang bisa dipertimbangkan yaitu:
Ada dua prinsip yang harus dijalankan dalam pelaksanaan konseling. Yaitu KTPS (Klien Tidak Pernah Salah) dan KTPM (Konselor Tidak Pernah Memihak).


a.       KTPS (Klien Tidak Pernah Salah)
Posisi klien dalam konseling di sekolah seringkali dikonotasikan negatif. Artinya setiap siswa yang masuk ke ruang BK (siswa yang diberikan bimbingan dan konseling), maka akan diartikan sebagai anak yang bermasalah. Bahwa siswa yang bersangkutan adalah memiliki kesalahan, itu memang benar, tetapi dalam hal ini konselor tidak boleh memposisikan siswa / klien sebagai seorang sakit (bersalah).
Kesalahan tersebut mungkin saja terjadi dikarenakan ketidak tahuan siswa bahwa pada saat ini dia dalam kondisi bersalah. Misalnya dalam sebuah kasus, siswa membawa perhiasan berharga di sekolah. Jika dilihat dari kepemilikan barang tersebut, siswa tidaklah salah. Karena perhiasan tersbut adalah miliknya, yang didapat dengan hasil uang miliknya juga, maka siswa merasa berhak menggunakannya. Namun disisi lain ada peraturan sekolah yang melarang. Pihak sekolah mengkhawatirkan, jika siswa menggunakan perhiasan berharga, maka bisa jadi keselamatannya dapat terancam, selain itu perhiasan itu akan mengakibatkan kecemburuan sosial tehadap siswa lainnya.
Dalam hal ini posisi konselor adalah mengarahkan siswa kepada pemahaman bahwa peraturan sekolah dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan siswa yang bersangkutan.
b.      KTPM (Konselor Tidak Pernah Memihak)
Seorang konselor tidak boleh memihak kepada salah seorang klien atau kelompok tertentu dalam menangani maslah. Meskipun kelompok atau klien yang bersangkutan benar. Karena keberpihakan tersebut akan menimbulkan penyalahan kepada pihak / kelompok yang lain. Dan itu tentu saja bertentangan dengan prinsip KTPS.
Posisi konselor adalah penengah, menawarkan solusi, memberikan pemahaman, yang keputusan akhirnya diberikan kepada keduabelah pihak. Mau tetap mempertahankan argumennya, atau memilih solusi yang ditawarkan konselor.
Misalnya seorang siswa mempunyai masalah dengan teman sebangkunya. Dimana temannya itu selalu menjelek-jelekkan dirinya kepada teman lainnya.
Konselor tidak dapat memihak ataupun menyalahkan satu diantara keduanya. Yang dapat dilakukan adalah memberikan pengertian kepada keduanya bahwa kerukunan disekolah sangat penting. Memberikan pemahaman bagaimana sebaiknya bertingkah laku terhadap orang lain. Saling menghormati, dan menghargai. Membimbing bagaimana memecahkan masalah tanpa harus menyakiti. Konselor dapat juga memberikan contoh akibat yang ditimbulkan jika tidak ada toleransi dan saling menghargai antar sesama. Dan lain sebagainya.
Secara singkat ada 3 hal yang ditanamkan kepada siswa dalam menyelesaikan masalah :
1) Menyadari kesalahan
2) Menganalisa masalah
3) Meminta maaf
Dengan demikian siswa diharapkan dapat menilai sendiri apakah perbuatannya baik atau buruk. Keputusan diberikan sepenuhnya kepada siswa yang bersangkutan

BAB VIII
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Landasan kode etik profesi konselor di Indonesia adalah pancasila danntuntutan profesi yang mengacu pada kebahagiaan klien
2.      Konselor yang tergabung dalam Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia harus memiliki (1) nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang profesi konseling, dan (2) Pengakuan atas kemampuan, dan kewenangan sebagai konselor
3.      Prinsip-prinsip yang berlaku dalam layanan individual, khususnya tentang penyimpanan serta penyebaran informasi tentang klien dan hubungan konfidensial antara konselor dengan klien, berlaku juga bila konselor bekerja dalam hubungan kelembagaan
4.      Setiap konselor yang bekerja dalam hubungan kelembagaan turut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan kerjasama dengan pihak atasan atau bawahannya, terutama dalam rangka layanan konseling dengan menjaga rahasia pribadi yang dipercayakan kepadanya.
5.      Konselor yang berpraktik mandiri ( privat ) dan tidak bekerja dalam hubungan kelembagaan tertentu, tetap menaati segenap kode etik jabatannya sebagai konselor, dan berhak untuk mendapat dukungan serta perlindungan diri dari rekan-rekan seprofes dan wajib mendapatkan izin dari ABKIN.
6.      Konselor harus senantiasa mengingat bahwa pelanggaran terhadap kode etik ini akan merugikan mutu proses dan hasil layanan yang diberikan, merugikan klien, lembaga dan pihak-pihak lain yang terkait, serta merugikan diri konselor sendiri dan akan mendapatkan sangsi dari ABKIN


DAFTAR RUJUKAN

Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia, 2002.Kode Etik Jabatan Professional Konselor. Bandung:ABKIN.
Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia, 2005.Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung:ABKIN.
Puspitasari, Yuanita. 2010. Pelaksanaan Kode Etik Konselor di SMA/SMK se Kota Malang. Malang: Universitas Negeri Malang.
Kunjoto, 2009. Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling(Online).(www.iki-indonesia.com diakses 20 November 2010)
Gunawan,2008. Fenomena Praktek Bimbingan Konseling (Online).(www.gunawan.blogspot.com diakses 28 November 2010)