A Latar Belakang
Pelayanan bimbingan dan konseling
secara profesional di Indonesia sampai saat ini masih terfokus pada generasi
muda yang masih duduk dibangku pendidikan formal atau di sekolah. itupun
nampaknya yang paling terrealisasi hanyalah pada jenjang pendidikan sekolah
menegah dan perguruan tinggi saja. Hampir semua tenaga bimbingan konseling
profesional yang telah mendapat pendidikan formal di bidang bimbingan dan
konseling, bertugas dilembaga-lembaga pendidikan di atas jenjang pendidikan
dasar. Diantara tenaga-tenaga bimbingan dan konseling itu sebagian terbesar
terlibat didalam jenjang pendidikan menegah. Kegiatan-kegiatan bimbingan dan
konseling yang diwujudkan dalam suatu program bimbingan dan konseling yang
terorganisasi dan terencana, sampai saat ini lebih banyak dikembangkan untuk
jenjang pendidikan ditingkat menengah. sehingga seakan-akan ia menjadi urutan
yang pertama. Kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan
oleh tenaga-tenaga profesional dijenjang pendidikan tinggi menempati urutan ke
dua dan kegiatan bimbingan konseling yang dilaksanakan di jenjang pendidikan
dasar menempati urutan ketiga. Kenyataan ini hendaknya tidak harus berarti
bahwa, urutan prioritas yang terdapat dilapangan, sebagaimana dijelaskan di
atas, tidak dapat diubah menjadi urutan prioritas yang berbeda.
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan di atas, maka dalam
penyelenggaraan kegiatan bimbingan dan konseling terhadap siswa yang berada di
sekolah menengah maupun mahasiswa yang sedang menimba bebagai macam ilmu di
perguruan tinggi perlu kira mendapatkan perhatian yang memadai. Dengan
berlandaskan pada proses pelaksanaan kegiatan dan definisi ataupun pengertian
bimbingan dan konseling, dapat di identifikasi 4 (empat) masalah yang mempunyai
relevansi terkait dengan ruang lingkup kehidupan siswa dan mahasiswa saat ini,
yaitu; (1). Dunia nasional maupun internasional serta ruang gerak kehidupan
mereka, (2). Alam pikiran dan perasaan mereka pada saat ini; (3). Bidang
pendidikan sekolah yang mengisi sebagian besar dari waktu mereka setiap harinya
dan (4). Kode etik profesi Bimbingan dan konseling, agar para pelaksana
bimbingan dan konseling dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar, serta
bertanggung jawa atas segala tindakannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar
Landasan atau dasar Kode Etik
Profesi Konselor di Indonesia adalah (a) Pancasila, mengingat bahwa profesi
konselor merupakan usaha pelayanan terhadap sesama manusia yang bersifat ilmiah
dan essensial dalam rangka ikut membina warga negara yang efektif dan
bertanggung jawab, dan (b)tuntutan profesi mengacu kepada kebutuhan dan
kebahagiaan klien esuai dengan norma-norma yang berlaku.
B. Ciri-Ciri Suatu Profesi
Suatu profesi ialah pekerjaan yang
dipegang oleh orang-orang yang mempunyai dasar pengetahuan, keterampilan, dan
sikap khusus tertentu dan pekerjaan itu diakui oleh masyarakat sebagai suatu
keahlian. Keahlian tersebut menuntut dipenuhinya standar persiapan profesi
melalui pendidikan khusus di perguruan tinggi dan pengalaman kerja dalam bidang
tersebut. Selanjutnya, keanggotaan dalam profesi menuntut keikutsertaan secara
aktif dalam ikatan kegiatan profesi melalui berbagai penelitian dan percobaan,
serta usaha-usaha lain untuk pertumbuhan diri dalam profesi selama hidup tanpa
mencari keuntungan pribadi.
C. Pengertian Kode Etik Profesi
Kode etik profesi adalah pola atau
ketentuan atau aturan atau tata cara yang menjadi pedoman dalam menjalankan
tugas dan aktivitas suatu profesi. Pola ketentuan/aturan/tata cara tersebut
seharusnya diikuti oleh setiap orang yang berkeinginan untuk ikut serta
menjalankan profesi tersebut.
D. Perlunya Kode Etik Profesi
Kode etik profesi diperlukan agar
anggota profesi atau konselor dapat tetap menjaga standar mutu dan status
profesinya dalam batas-batas yang jelas dengan anggota profesi dan
profesi-profesi lainnya, sehingga dapat dihindarkan kemungkinan
penyimpangan-penyimpangan tugas oleh mereka yang tidak langsung terjun dalam
bidang bimbingan dan konseling. Kode etik konselor ini diperuntukkan bagi para
pembimbing atau konselor yang memberikan layanan bimbingan dan konseling ,
dengan pengertian bahwa layanan bimbingan konseling dapat dibedakan dari
bentuk-bentuk layanan profesional lainnya, karena sifat-sifat khas dari layanan
profesional bimbingan dan konseling. Profesional lain, yang bukan konselor,
mungkin dapat mengambil ilham dari keyakinan-keyakinan yang menjiwai kode etik
ini.
BAB III
KUALIFIKASI DAN KEGIATAN PROFESIONAL
KONSELOR
A. Kualifikasi
Konselor yang tergabung dalam
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia harus memiliki (1) nilai, sikap,
keterampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang profesi konseling, dan (2)
Pengakuan atas kemampuan, dan kewenangan sebagai konselor.
1. Nilai, Sikap, Pengetahuan,
Wawasan, Keterampilan.
a. Agar dapat memahami orang
lain dengan sebaik-baiknya, konselor harus terus-menerus berusaha mengembangkan
dan menguasai dirinya. Ia harus mengerti kekurangan dan prasangka-prasangka
pada dirinya sendiri, yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dan
mengakibatkan rendahnya layanan mutu professional serta merugikan orang lain.
b. Dalam melakukan tugasnya membantu
klien, konselor harus memperlihatkan sifat-sifat sederhananya, rendah hati,
sabar, menepati janji, dapat dipercaya, jujur, tertib, dan hormat.
c. Konselor harus memiliki rasa
tanggung jawab terhadap saran dan peringatan yang diberikan kepadanya,
khususnya dari rekan-rekan seprofesi dalam hubungannya dengan pelaksanaan
ketentuan-ketentuan tingkah laku profesional sebagaimana diatur dalam kode etik
ini.
d. Dalam menjalankan tugas-tugasnya,
konselor harus mengusahakan mutu kerja yang setinggi mungkin, kepentingan pribadi,
termasuk keuntungan finansial dan material tidak diutamakan.
e. Konselor harus terampil
menggunakan teknik-teknik dan prosedur-prosedur khusus yang dikembangkan tas
dasar wawasan yang luas dan kaidah-kaidah ilmiah.
2. Pengakuan Wewenang
Untuk dapat bekerja sebagai konselor atau guru pembimbing,
diperlukan pengakuan keahlian dan kewenangan oleh badan khusus yang dibentuk
oleh organisasi profesi atas dasar wewenang yang diberikan kepada organisasi
profesi tersebut oleh pemerintah.
B. Informasi, Testing, dan Riset
1. Penyimpanan dan penggunaan informasi
a. Catatan tentang klien yang meliputi
data hasil wawancara, testing, surat-menyurat, perekaman, dan data lainnya,
semuanya merupakan informasi yang bersifat rahasia dan hanya boleh digunakan
untuk kepentingan klien. Penggunaan data/informasi untuk keperluan riset atau
pendidikan calon konselor dimungkinkan, sepanjang identitas klien dirahasiakan.
b. Penyampaian informasi mengenai klien
kepada keluarga atau kepada anggota profesi yang lain, membutuhkan persetujuan
klien.
c. Penggunaan informasi tentang klien
dalam rangka konsultasi dengan anggota profesi yang sama atau yang lain dapat
dibenarkan, asalkan untuk kepentingan klien dan tidak merugikan klien.
d. Keterangan mengenai bahan
profesional hanya boleh diberikan kepada orang yang berwenang menafsirkan dan
menggunakannya.
2. Testing
a. Suatu jenis tes hanya boleh
diberikan oleh petugas yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya.
Konselor harus selalu memeriksa dirinya apakah ia mempunyai kewenangan yang
dimaksud.
b. Testing diperlukan apabila
proses pemberian layanan memerlukan data tentang sifat atau ciri kepribadian
yang menuntut adanya perbandingan dengan sampel yang lebih luas, misalnya taraf
intelegensi, minat, bakat khusus dan kecendrungan pribadi seseorang .
c. Data yang diperoleh dari
hasil testing itu harus diintegrasikan dengan informasi lain yang telah
diperoleh baik melalui klien sendiri ataupun dari sunber lain.
d. Data hasil testing harus
diperlakukan setaraf dengan data dan informasi lain tentang klien.
e. Konselor harus memberikan
orientasi yang tepat kepada klien mengenai alasan digunakannya tes dan apa
hubungannya dengan masalahnya. Hasilnya harus disampaikan kepada klien dengan
disertai penjelasan tentang arti dan kegunaannya.
f. Penggunaan suatu jenis tes harus
mengikuti pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes yang bersangkutan.
g. Data hasil testing hanya dapat
diberitahukan kepada pihak lain sejauh pihak lain yang diberitahu itu ada
hubungannya dengan usaha bantuan atau layanan kepada klien dan tidak merugikan
klien.
3. Riset
a. Dalam melakukan riset, dimana
tersangkut manusia dengan masalahnya sebagai subjek, harus dihindari hal-hal
yang dapat merugikan subjek yang bersangkutan.
b. Dalam melaporkan hasil riset di
mana tersangkut klien sebagai subjek, harus dijaga agar identitas subjek
dirahasiakan.
C. Proses Layanan
1. Hubungan dalam pemberian layanan
a. Kewajiban konselor haru menangani
klien berlangsung selama ada kesempatan dalam hubungan antara klien dengan
konselor. Kewajiban itu berakhir jika hubungan konseling berakhir dalam arti,
klien mengakhiri hubungan kerja dengan konselor tidak lagi bertugas sebagai
konselor .
b. Klien sepenuhnya berhak untuk
mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai
hasil yang kongkret. Sebaliknya konselor tidak akan melanjutkan hubungan
apabila klien ternyata tidak memperoleh manfaat dari hubungan itu
2. Hubungan dan klien
a. Konselor harus menghormati
harkat pribadi, integritas, dan keyakinan klien.
b. Konselor harus menempatkan
kepentingan, kliennya diatas kepentingan pribadinya. Demikian pun dia tidak
boleh memberikan layanan bantuan di luar bidang pendidikan, pengalaman dan
kemampuan yang dimilikinya.
c. Dalam menjalankan tugasnya,
konselor harus tidak mengadakan perbedaan klien tas dasar suku, bangsa, warna
kulit, agama, atau status sosial ekonomi.
d. Konselor tidak akan memaksa untuk
memberikan bantuan kepada seseorang dan tidak akan mencampuri urusan pribadi
orang lain tanpa izin diri orang yang bersangkutan.
e. Konselor bebas memilih siapa yang
akan diberi bantuan kepada seseorang, akan tetapi ia harus memperhatikan setiap
permintaan bantuan, lebih-lebih dalam keadaan darurat atau apabila banyak orang
yang menghendaki.
Kalau konselor sudah turun tangan membantu seseorang, maka
dia tidak akan melalaikan klien tersebut, walinya tau orang yang bertanggung
jawab kepadanya.
f. Konselor wajib memberikan
pelayanan hingga tuntas sepanjang dikehendaki klien
g. Konselor harus menjelaskan kepada
klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab terhadap
klien.
h. Hubungan konselor mengandung
kesetiaan ganda kepada klien, masyarakat, atasan dan rekan-rekan sejawat.
1) Apabila timbul masalah dalam soal kesetiaan ini, maka harus
diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan juga tuntutan profesinya
sebagai konselor. Dalam hal ini terutama sekali harus diperhatikan adalah
kepentingan klien.
2) Apabila timbul masalah antara kesetiaan antara klien dan
lembaga tempat konselor bekerja, maka konselor harus menyampaikan situasinya
kepada klien dan atasannya. Dalam hal ini klien harus diminta untuk mengambil
keputusan apakah ia ingin meneruskan hubungan konseling dengannya.
i. Konselor tidak akan
memberikan hubungan profesional kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya,
apabila hubungan profesional dengan orang-orang tersebut mungkin dapat terancam
oleh kaburnya peranan masing-masing.
D. Konsultasi dan Hubungan dengan
Rekan Sejawat atau ahli lain.
1. Konsultasi dengan Rekan Sejawat
Dalam rangka pemberian layanan kepada seorang klien, kalau
konselor merasa ragu-ragu tentang suatu hal maka ia harus berkonsultasi dengan
rekan-rekan sejawat se lingkungan seprofesi. Untuk itu ia harus mendapat izin
terlebih dahulu dari klien.
2. Alih tangan tugas
a. Konselor harus mengakhiri hubungan
konseling dengan seseorang klien apabila pada akhirnya dia menyadari tidak
dapat memberikan pertolongan kepada klien tersebut, baik karena kurangnya
kemampuan keahlian maupun keterbatasan pribadinya.
b. Dalam hal ini konselor mengizinkan
klien untuk berkonsultasi dengan petugas atau badan lain yang lebih ahli, atau
ia akan mengirimkan kepada orang atau badan ahli tersebut, tetapi harus dasar
persetujuan klien. Bila pengiriman ke ahli lain disetujui klien, maka menjadi
tanggung jawab konselor untuk menyarankan kepada klien orang atau badan yang
mempunyai keahlian khusus.
c. Bila konselor berpendapat klien perlu
dikirim ke ahli lain, akan tetapi klien menolak pergi kepada ahli yang
disarankan oleh konselor, maka mempertimbangkan apa baik buruknya kalau
hubungan yang sudah ada mau diteruskan lagi.
BAB IV
HUBUNGAN KELEMBAGAAN
A. Prinsip Umum
1. Prinsip-prinsip yang berlaku dalam
layanan individual, khususnya tentang penyimpanan serta penyebaran informasi
tentang klien dan hubungan konfidensial antara konselor dengan klien, berlaku
juga bila konselor bekerja dalam hubungan kelembagaan.
2.
Apabila konselor bertindak sebagai
konsultan pada suatu lembaga, maka harus ada pengertian dan kesepakatan yang
jelas antara konselor dan pihak lembaga dan dengan klien yang menghubungi
konselor di tempat lembaga itu. Sebagai seorang konsultan, konselor harus tetap
mengikuti dasar-dasar pokok profesi dan tidak bekerja atas dasar komersial.
B. Keterkaitan Kelembagaan
1. Setiap konselor yang bekerja
dalam hubungan kelembagaan turut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
peraturan kerjasama dengan pihak atasan atau bawahannya, terutama dalam rangka
layanan konseling dengan menjaga rahasia pribadi yang dipercayakan kepadanya.
2. Peraturan-peraturan kelembagaan
yang diikuti oleh semua petugas dalam lembaga haru dianggap mencerminkan
kebijaksanaan lembaga itu dan bukan pertimbangan pribadi. Konselor haru
mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada atasannya. Sebaliknya ia berhak pula
mendapat perlindungan dari lembga itu dalam menjalankan profesinya.
3. Setiap konselor yang
menjadi anggota staf suatu lembaga berorientasi kepada kegiatan-kegiatan dari
lembaga itu dari pihak lain, pekerjaan konselor harus dianggap sebagai
sumbangan khas dalam mencapai tujuan lembaga itu.
4. jika dalam rangka pekerjaan dalam
suatu lembaga, konselor tidak cocok dengan ketentuan-ketentuan atau
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berlaku di lembaga tersebut, maka ia wajib
mengundurkan diri dari lembaga tersebut.
BAB V
PRAKTIK MANDIRI DAN LAPORAN KEPADA
PIHAK LAIN
A. Konselor Praktik mandiri ( Privat )
1. Konselor yang berpraktik mandiri ( privat ) dan tidak
bekerja dalam hubungan kelembagaan tertentu, tetap menaati segenap kode etik
jabatannya sebagai konselor, dan berhak untuk mendapat dukungan serta
perlindungan diri dari rekan-rekan seprofesi.
2. Konselor yang berpraktik mandiri wajib memperoleh izin
terlebih dahulu dari organisasi profesi ( ABKIN ).
B. Laporan Kepada Pihak Sekolah
Apabila konselor perlu melaporkan suatu hal tentang klien
kepada pihak lain ( misalnya : pimpinan lembaga tempat ia bekerja ) ,atau kalau
ia diminta keterangan tentang klien oleh petugas suatu badan diluar profesinya
dan ia harus juga memberikan informasi itu ia harus sebijaksana mungkin dengan
berpedoman pada pegangan bahwa dengan berbuat begitu klien tetap dilindungi dan
tidak dirugikan
BAB VI
KETAATAN PROFESI
A. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
1. Dalam pelaksanaan hak dan
kewajibannya sebagai konselor, konselor harus selalu mengaitkannya dengan tugas
dan kewajibannya terhadap klien dan profesi sebagaimana dicantumkan dalam kode
etik ini dan semuanya itu sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kebahagiaan
klien.
2. Konselor tidak dibenarkan
menyalahgunakan jabatannya sebagai konselor untuk maksud untuk mencari
keuntungan pribadi atau maksud-maksud lain yang dapat merugikan klien ataupun
menerima komisi atau balas jasa dalam bentuk yang tidak wajar.
B. Pelanggaran kode etik
1. Konselor harus selalu mengkaji
tingkah laku dan perbuatannya tidak melanggar kode etik ini.
2. Konselor harus senantiasa mengingat
bahwa pelanggaran terhadap kode etik ini akan merugikan mutu proses dan hasil
layanan yang diberikan, merugikan klien, lembaga dan pihak-pihak lain yang
terkait, serta merugikan diri konselor sendiri dan profesinya.
3. Pelanggaran terhadap kode etik
ini akan mendapatkan sanksi berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh ABKIN.
BAB VII
FENOMENA PELAKSANAAN KODE ETIK
PROFESI KONSELOR DI LAPANGAN
Kode etik konselor Indonesia
merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung
tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota profesi bimbingan dan
konseling Indonesia. Kode etik konselor diperlukan untuk melindungi anggota
profesi sendiri dan kepentingan publik.Sebagai penjamin mutu layanan yang
diberikan oleh konselor, kode etik berperan sebagai pedoman tingkah laku
konselor dalam menjalankan aktifitas profesionalnya dan setiap konselor harus
melaksanakan kode etik profesi dengan sebaik-baiknya. Beberapa fenomena di
lapangan yang diberitakan dalam media cetak dan fenomena selama mengikuti
kegiatan PPL II ketika menempuh S1 Bimbingan Konseling, di salah satu sekolah
di kota Malang mengindikasikan masih adanya penyimpangan kode etik yang
dilakukan konselor.
Secara umum tujuan diadakannya
bimbingan dan konseling yaitu untuk membantu peserta didik atau siswa dalam
memahami diri dan lingkungan, mengarahkan diri, menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan mengembangkan potensi dan kemandirian diri secara optimal pada
setiap tahap perkembangannya. Artinya dalam malaksanakannya guru pembimbing
dituntut untuk dekat, akrab dan bersahabat dengan segala pola tingkah laku dan
kepribadian siswa dalam batasan tertentu sehingga diharapkan dapat mengatasi
masalah yang dihadapi siswa.
Namun kenyataannya yang terjadi di
lapangan cenderung berbeda dengan tujuan umum diatas. Yang terjadi adalah jarak
pemisah yang cukup jauh antara guru BK dan siswa. Siswa merasa enggan untuk
secara suka rela mendatangi konselor dalam mengatasi masalahnya. Berikut ini
adalah beberapa fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan BK di sekolah :
1) Guru BK sebagai polisi sekolah
Pada beberapa sekolah, guru BK adalah sosok yang “ditakuti”.
Hal ini wajar karena dalam “mendisiplinkan” siswa. terkadang dilakukan dengan
interogasi, razia, dan punishment (hukuman). Sehingga jika ditanyakan kepada
siswa mengenai guru BK, banyak siswa yang merasa benci, tidak bersahabat dan
cenderung memilih lebih baik menghindar saat bertemu guru BK, terutama saat
mereka sedang dalam posisi melakukan kesalahan.
2) Pelaksanaannya masih menggunakan
pola tidak jelas.
Yang dimaksud dengan pola tidak jelas disini adalah tidak
adanya aturan baku atau pola-pola tertentu yang ditetapkan sebagai acuan dalam
menyelesaikan masalah. Dalam penerapannya guru cenderung melakukan cara-cara
yang “kasar” dan justru tidak mendidik. Misalnya ketika seorang siswa ketahuan
merokok, siswa tersebut malah disuruh menghisap sepuluh batang rokok sekaligus.
Hal ini tidaklah tepat. Memang tindakan ini akan dapat memberikan efek jera,
namun disisi lain menghisap rokok dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang
bersaan, justru akan membahayakan kesehatan siswa.
3) Pendekatan yang dilakukan pada siswa
bermasalah / klien masih menggunakan pendekatan klinik – klasik.
Dalam hal ini fokus penanganan BK dilakukan hanya kepada
siswa yang berkeadaan dan mengalami hal-hal negatif, seperti nakal, membolos,
malas membuat PR, dan lain sebagainya. Hubungan antara siswa dan guru
pembimbing pun adalah sebagai atasan dan bawahan. Sehingga terdapat jarak yang
sangat jauh antara keduanya.
Fenomena diatas jauh sekali dengan
harapan bimbingan konseling sebagai profesi yang professional. Masih adanya
praktek bimbingan konseling yang tidak sesuai dengan tujuan dan kode etik
bimibingan konseling yang sudah di rumuskan oleh ABKIN. Namun hal ini
tidak bisa kita generalisasi atau berfikir secara umum jika kode etik bimbingan
konseling tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, karena Puspitasari(2010)
dalam penelitiannya tentang pelaksanaan kode etik konselor SMA/SMK se kota
Malang menunjukkan bahwa 1) 55% konselor berada pada taraf tinggi, 45% konselor
berada pada taraf cukup, 0% konselor berada pada taraf rendah dalam pelaksanaan
kode etik, 2) Pada aspek kualifikasi dan kegiatan profesional konselor 42,5%
konselor berada pada taraf tinggi, 57,5% cukup, dan 0% rendah, 3) pada aspek
hubungan kelembagaan dan laporan kepada pihak lain 20% konselor berada pada
taraf tinggi, 80% cukup, dan 0% rendah, 4) pada aspek ketaatan kepada profesi
95% konselor berada pada taraf tinggi, 5% cukup, dan 0% rendah.
Jika kita menelaah hasil penelitian
diatas, maka bisa kita simpulkan bahwa pelaksanaan kode etik konselor di
SMA/SMK se kota malang sebenarnya cukup tinggi. Untuk praktek professional
konselor yang masing kurang dri harapan kita ada beberapa saran yang bisa
dipertimbangkan yaitu:
Ada dua prinsip yang harus
dijalankan dalam pelaksanaan konseling. Yaitu KTPS (Klien Tidak Pernah Salah)
dan KTPM (Konselor Tidak Pernah Memihak).
a. KTPS (Klien Tidak Pernah Salah)
Posisi klien dalam konseling di sekolah seringkali
dikonotasikan negatif. Artinya setiap siswa yang masuk ke ruang BK (siswa yang
diberikan bimbingan dan konseling), maka akan diartikan sebagai anak yang
bermasalah. Bahwa siswa yang bersangkutan adalah memiliki kesalahan, itu memang
benar, tetapi dalam hal ini konselor tidak boleh memposisikan siswa / klien
sebagai seorang sakit (bersalah).
Kesalahan tersebut mungkin saja terjadi dikarenakan ketidak tahuan siswa bahwa
pada saat ini dia dalam kondisi bersalah. Misalnya dalam sebuah kasus, siswa
membawa perhiasan berharga di sekolah. Jika dilihat dari kepemilikan barang
tersebut, siswa tidaklah salah. Karena perhiasan tersbut adalah miliknya, yang
didapat dengan hasil uang miliknya juga, maka siswa merasa berhak
menggunakannya. Namun disisi lain ada peraturan sekolah yang melarang. Pihak
sekolah mengkhawatirkan, jika siswa menggunakan perhiasan berharga, maka bisa
jadi keselamatannya dapat terancam, selain itu perhiasan itu akan mengakibatkan
kecemburuan sosial tehadap siswa lainnya.
Dalam hal ini posisi konselor adalah mengarahkan siswa kepada pemahaman bahwa
peraturan sekolah dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan siswa yang
bersangkutan.
b. KTPM (Konselor Tidak Pernah Memihak)
Seorang konselor tidak boleh memihak kepada salah seorang klien
atau kelompok tertentu dalam menangani maslah. Meskipun kelompok atau klien
yang bersangkutan benar. Karena keberpihakan tersebut akan menimbulkan
penyalahan kepada pihak / kelompok yang lain. Dan itu tentu saja bertentangan
dengan prinsip KTPS.
Posisi konselor adalah penengah, menawarkan solusi, memberikan pemahaman, yang
keputusan akhirnya diberikan kepada keduabelah pihak. Mau tetap mempertahankan
argumennya, atau memilih solusi yang ditawarkan konselor.
Misalnya seorang siswa mempunyai masalah dengan teman sebangkunya. Dimana
temannya itu selalu menjelek-jelekkan dirinya kepada teman lainnya.
Konselor tidak dapat memihak ataupun menyalahkan satu diantara keduanya. Yang
dapat dilakukan adalah memberikan pengertian kepada keduanya bahwa kerukunan
disekolah sangat penting. Memberikan pemahaman bagaimana sebaiknya bertingkah
laku terhadap orang lain. Saling menghormati, dan menghargai. Membimbing
bagaimana memecahkan masalah tanpa harus menyakiti. Konselor dapat juga
memberikan contoh akibat yang ditimbulkan jika tidak ada toleransi dan saling
menghargai antar sesama. Dan lain sebagainya.
Secara singkat ada 3 hal yang ditanamkan kepada siswa dalam menyelesaikan
masalah :
1) Menyadari kesalahan
2) Menganalisa masalah
3) Meminta maaf
Dengan demikian siswa diharapkan dapat menilai sendiri apakah perbuatannya baik
atau buruk. Keputusan diberikan sepenuhnya kepada siswa yang bersangkutan
BAB VIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Landasan kode etik profesi konselor
di Indonesia adalah pancasila danntuntutan profesi yang mengacu pada
kebahagiaan klien
2. Konselor yang tergabung dalam
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia harus memiliki (1) nilai, sikap,
keterampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang profesi konseling, dan (2)
Pengakuan atas kemampuan, dan kewenangan sebagai konselor
3. Prinsip-prinsip yang berlaku dalam
layanan individual, khususnya tentang penyimpanan serta penyebaran informasi
tentang klien dan hubungan konfidensial antara konselor dengan klien, berlaku
juga bila konselor bekerja dalam hubungan kelembagaan
4. Setiap konselor yang bekerja dalam
hubungan kelembagaan turut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan
kerjasama dengan pihak atasan atau bawahannya, terutama dalam rangka layanan
konseling dengan menjaga rahasia pribadi yang dipercayakan kepadanya.
5. Konselor yang berpraktik mandiri (
privat ) dan tidak bekerja dalam hubungan kelembagaan tertentu, tetap menaati
segenap kode etik jabatannya sebagai konselor, dan berhak untuk mendapat
dukungan serta perlindungan diri dari rekan-rekan seprofes dan wajib
mendapatkan izin dari ABKIN.
6. Konselor harus senantiasa mengingat
bahwa pelanggaran terhadap kode etik ini akan merugikan mutu proses dan hasil
layanan yang diberikan, merugikan klien, lembaga dan pihak-pihak lain yang
terkait, serta merugikan diri konselor sendiri dan akan mendapatkan sangsi dari
ABKIN
DAFTAR RUJUKAN
Asosiasi Bimbingan Konseling
Indonesia, 2002.Kode Etik Jabatan Professional Konselor. Bandung:ABKIN.
Asosiasi Bimbingan Konseling
Indonesia, 2005.Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung:ABKIN.
Puspitasari, Yuanita. 2010. Pelaksanaan
Kode Etik Konselor di SMA/SMK se Kota Malang. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Kunjoto, 2009. Profesionalisasi
Bimbingan dan Konseling(Online).(www.iki-indonesia.com diakses 20 November 2010)