Minggu, 14 April 2013

Bapak Ekonomi Islam : Imam Al-Ghazali


Pendahuluan
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Panggilan, atau gelar Al-Ghazali Zain ad Diin ath Thusy adalah Hujjatul Islam atau Hujjatul Islam Abu Hamid. Lahir pada tahun 450 H / 1058 M. Tepatnya pertengahan abad ke lima Hijriah, dan wafat pada tahun 505 H / 1111 M, tepatnya pada tanggal 14 Jumadil ath-Thani, hari senin di Thus, sebuah kota di Khurasan (Iran) tempat kelahirannya.
Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir Islam yang banyak menguasai bidang keilmuan, baik ilmu filsafat, ilmu sufisme, ilmu fiqih, dan ilmu-ilmu lainnya. Reputasinya sebagai seorang cendikiawan muda, membuat Nizam Al Mulk Al Tusi mengangkat Al-Ghazali sebagai pimpinan bidang Teologi, Universitas Nizamiyyah Baghdad-Iraq, pada tahun 1091, di usia 34 tahun. Dari hasil kerja kerasnya, lahirlah sebuah kitab klasik yang monumental, yang berjudul Ihya ‘Ulum al-Din (menghidupkan ilmu agama atau pegangan hidup dalam Islam), di samping karya-karya lainnya. Kitab ini berisi pesan-pesan tentang kebangkitan agama atau petunjuk hidup dalam Islam. Dan kitab Ihya ‘Ulum Al-Din, sampai dengan saat ini masih mendapatkan perhatian khusus dari para peneliti, akademisi, baik dari kalangan muslim maupun non muslim.
Kaitannya dalam ekonomi, pandangan al-Ghazali memiliki karakter yang khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis sebagai akibat pengaruh basic keilmuan tasawufnya. Namun yang menarik, pandangan-pandangannya tidak terbatas pada dataran filosofis, melainkan menunjukkan perpaduan yang serasi antara kondisi riil yang terjadi dalam masyarakat dengan nilai-nilai filosofis tersebut, dengan disertai argumen yang logis (abdurahman, 2010)
Maka dari itu dalam artikel kali ini mencoba membahas sebagian pemikiran ekonomi Al-Ghazali, terutama dalam konsep filosofi ekonomi dengan mengambil referensi utama kitab tersebut.
Al-Ghazali dalam sorotan
Dalam kajian sejarah pemikiran ekonomi islam, imam al-Ghazali tidak luput dari kajian para ekonom saat ini, terutama ekonom muslim yang sedang giat-giatnya menggalakan untuk memakai konsep islam sebagai pinsip dasarnya. sebagai contohnya, Muhammad Nejatullah siddiqi dalam bukunya reading in Islamic economic thought (1972) menjelaskan tentang pemikiran ekonomi al-Ghazali dalam kerangka periodisasi sejarah pemikiran ekonomi islam. Ganzafar dalam bukunya economic thought of al-Gazali (1997), menjelaskan dengan gamblang konsep pemikiran beliau tentang ekonomi baik pemikirannya yang normative maupun yang positif. Tak lupa beliau melampirkan penggalan penggalan statement al-Ghazali secara runut.
Bahkan di Indonesia setidaknya ada dua buku yang khusus membahas pemikiran beliau. Pertama tulisan Ahmad Dimyati dengan judul teori keuangan islam; rekontruksi metodologis terhadap teori keuangan al-Ghazali (2007). Dalam tulisan Abdur Rohman yang berjudul konsep ekonomi al-ghazali dalam kitab ihya’ ulumuddin (2010) menawarkan suatu gagasan Ekonomi al-Ghazali menelusuri konsep ekonomi dalam Ihya Ulum al-Din. Dengan memperhatikan setting kehidupannya, sosial, politik, ekonomi dan karir ilmiahnya, barangkali dapat membantu untuk menerima bahwa sebenarnyalah figur al-Ghazali memiliki pandangan yang cukup modern untuk ukuran masanya di bidang ekonom.
Sebaran pemikiran ekonomi al-Ghazali
Memetakan isi buku ihya, Muhammad Badawi Tiyanah dalam pengantarnya untuk kitab tersebut membaginya kedalam empat bagian, yaitu pertama di sebut rub’ al ibadat (act of worship), yang memuat pembahasan tentang ilmu, kaidah kaidah umum di bidang akidah maupun permasalahan figh pada umumnya. Bagian kedua disebut dengan rub’ al adat (custom), yang menjelaskan aspek norma dan etika dalam berbagai aspek aktifiats kehidupan sehari hari. Bagian ketika disebut dengan rub’ al muhlikat(destructive quality of the soul) yang menjelaskan tentang berbagai penyakit moral dan bahayanya bagi kehidupan masyarakat. Dan terakhir rub’ al munjiyat (quality leading to salvation). Bagian terakhir ini membahas masalah aklaq terpuji yang dapat menyelamatkan manusia dari kesengsaraan dunia[1].
Untuk sebaran pemikiran ekonomi imam al-Ghazali, sebenarnya terdapat diseluruh kitabnya. Namun kebanyakan terdapat dalam juz 2, 3, dan 4 atau dalam 3 rub’ terakhir. Sebagaimana yang ditulis oleh Ganzafar (1997), pemikiran ekonominya mencakup berbagai aspek. Ganzafar mengelompokkan dalam 2 kelompok yaitu pondasi pilosofi ekonomi tercakup didalamnya tentang keseimbangan aktifitas dunia dan akherat, kesejahteraan dan kemiskinan, hidup berbagi dan kesetaraan kekayaan, usaha ekonomi dan tawakkal.  Kedua tentang pemikiran ekonominya yang tercakup dalam 3 bagian besar pertama tentang perdagangan dan evolusi pasar, dimana didalamnya berisi tentang demand supply, harga dan profit, profit dunia dan akherat dan nilai etika pasar. Kedua masalah aktifitas produksi dan hirakinya. Ketiga masalah uang dan evolusinya. Keempat dibahas masalah peran Negara dalam ekonomi dan keuangan public.
Ekonomi zuhud
Al-Ghazali dalam kitab al kasbu, mendiskusikan berbagai jalan hidup yang islami yang berkaitan dengan dengan aktifitas ekonomi. Dalam pembukaan kitab tersebut beliau membagi manusia dalam 3 golongan yaitu:
1.     Orang yang disibukkan oleh dunianya dari pada akheratnya. Golongan ini disebut dengan orang orang yang merugi (halikin).
2.     Orang yang kehidupannya di sibukkan oleh akheratnya daripada dunianya, maka mereka termasuk kedalam orang orang yang beruntung ( faizin).
3.     Orang yang pertengahan artinya orang yang meyeimbangkan antara dunia dan akheratnya, maka orang yang demikian ini disebut dengan muqtashid[2].
Sangat menarik, al-Ghazali sudah menggunakan kata iqtishod dalam artian seseorang melakukan aktifitas ekonomi. Seseorang tidak dikatakan iqtishod sampai orang itu dalam aktifitas ekonominya dengan jalan yang lurus, melakukan aktifitas dunianya sebagai wasilah menuju akheratnya dan dalam mencari rizki harus esuai dengan adab adab syariah[3].
Al-Ghazali dengan gamblang memberikan batasan batasan yang jelas bahwa tujuan hidup adalah untuk mengejar akherat, aktifitas ekonomi bukannlah tujuan tetapi hanya sebagai wasilah saja untuk mencapai tujuan yang sebenarnya yaitu akherat. Dalam bab fardhu kasbu (kewajiban mencari rezeki) beliau memberikan dalil dalil yang berkaitan dengan keharusan dalam mencari nafkah dan pembagaian waktu untuk bekerja[4].
Masih dalam kitab al kasbu, setelah membahas masalah akad akad berkaitan dengan perdagangan seperti jual beli, riba, salam, ijarah, syirkah dan utang piutang[5], beliau menjelaskan tentang fungsi pasar yang berbasis pada sejumlah moral dan etika dimana komunitas bisnis terikat dalam aktifitas perdagangan mereka. Dia mendorong untuk mengeleminasi berbagai macam kecurangan yang ada dipasar seperti penimbunan, monopoli, gambling (judi), iklan yang menyesatkan[6]. Kemudian beliau memberikan 6 arahan sebagai patokan di pasar[7];
1.     Pedagang dilarang menaikan harga untuk menghasilkan keuntungan yang lebih.
2.     Pembeli boleh membeli dengan harga yang tinggi jika penjualnya miskin, jika penjualnya kaya maka perbuatan tersebut tidak terpuji. (diskriminasi harga)
3.     Ketika meminta pembayaran utang, dianjurkan untuk mempermudah dan flexible untuk mengakomodasi pihak yang terutang.
4.     Jika memiliki utang hendaklah segera melunasinya, agar tidak menyusahkan pihak lainnya.
5.     Jika seseorang ingin membatalkan transaksi, maka pihak satunya dianjurkan untuk memenuhi permintaan tersebut.
6.     Jika menjual kepada orang miskin yang tidak punya harta dianjurkan memberi keringan kredit tanpa adanya batasan waktu jatuh tempo.
Menurut beliau, seseorang dapat mentransformasikan aktifitas duniawinya kepada tujuan untuk memastikan pahala dari Allah SWT yang mana hal itu adalah tujuan akhir manusia[8]. Pertama niat yang benar setiap memulai bisnis. Kedua dalam setiap bisnisnya harus memenuhi kewajjiban socialnya (fardhu kifayah). Ketiga, kesuksesan dunia jangan sampai menghalangi kesuksesan akherat. Keempat, selalu ingat kepada Allah setiap saat. Kelima, tidak rakus dalam berbisnis. Keenam, tidak hanya menjauhi yang haram tapi juga menjauhi yang subhat.
Sebenarnya, pemikiran beliau tentang zuhud terdapat kajian tersendiri dalam bukunya ihya yaitu kitab faqr wa zuhud. Dalam bagian kitab ini dijelaskan dengan detail mulai dari apa makna, hakekat zuhud dan faqir dalam islam. Dan tak luput juga motivasi  hal yang membawa orang menjadi seorang zuhud. Menarik, bahwa konsep zuhud yang beliau tawarkan -dan para sufi pada umumnya- luput (ataupun kalau ada hanya sekilas) dari kajian dan penelitian para ekonom saat ini. Kajian ekonomi zuhud ini akan menarik jika dikaitkan dengan konsep want dan need. Dan juga bila dikaitkan dengan permasalahan kemiskinan (poverty) dan kesejahteraan (welfare).  Di zaman umar I dan II, tercatat bahwa pernah ada masa dimana dana zakat yang terkumpul tidak habis disalurkan. Para sahabat melaporkan bahwa sudah tidak ada lagi warga yang berhak menerima zakat. Sedang harta zakat masih menumpuk di bait al-mal.
  Kembali pada pemikiran ekonomi zuhudnya, dalam bagian pertama kitab faqr wa zuhud, al-Ghazali menguraikan dengan jelas dan detail mengenai hakikat fakir, keutamaan fakir, keutamaan fakir atas orang kaya, adab sopan santun orang fakir pada ke fakir-annya, penjelasan sopan santun orang fakir dalam menerima pemberian orang, penjelasan pengharam meminta-minta tanpa adanya darurat, penjelasan kadar orang kaya yang diharamkan meminta dan penjelasan hal ihwal orang orang yang meminta[9]. Lebih lanjut dalam bahasan masalah hakikat fakir, beliau mengatakan bahwa kefakiran itu adalah ibarat dari ketiadaan apa yang dibutuhkan. Adapun ketiadaan apa yang tidak dibutuhkan maka itu tidak disebut fakir. Jikalau apa yang dibutuhkan itu ada dan tersedia, niscaya orang yang membutuhkan itu disebut orang yang fakir[10].
Selanjutnya al-Ghazali membagi fakir dalam dua hal pertama fakir yang dinisbatkan kepada Allah dengan sebutan faqr mutlaq, artinya semua makhluk yang ada didunia ini adalah faqir dan Allah adalah ghonni(kaya). Kedua adalah faqr yang dinisbatkan kepada harta benda, al-Ghazali membaginya dalam lima kelompok[11];
1.     Yang paling tinggi tingkatannya adalah seseorang jika dataing kepadanya harta kekayaan tetapi membecinya dan merasa tersiksa dengan adanya harta tersebut. Kemudian dia lari daripadanya. Dan menjaga dirinya dari kesibukan dan kejahatan harta tersebut maka dia adalah orang yangZuhud.
2.     Jika datang kepadanya harta, namun tidak mencintainya dengan penuh kecintaan karena mendapatkannya. Dan tidak membencinya dengan penuh kebencian yang menyiksa karenanya. Kemudian ia zuhud jika harta itu datang kepadanya, maka orang tersebut disebut orang yang  ridho.
3.     Dengan adanya harta lebih disukai daripada ketiadaan harta karena kecintaannya pada harta tersebut. Namun kecintaannya tersebut tidak menggerakkannya untuk mencarinya. Jika harta tersebut datang kepadanya dengan bersih tanpa di minta niscaya diambilnya dengan gembira. Namun jika untuk memperolehnya harus dengan susah payah, dia tidak berangkat untuk mencarinya. Maka orang tersebut termasuk kedalam golongan yang qona’ah yaitu orang yang merasa cukup dengan apa adanya.
4.     Ketika seorang tidak mencari karena dia lemah, namun seandainya dia mampu maka ia akan dengan senang mencari harta tersebut meski harus dengan susah payah. Orang yang demikian ini disebut sebagai orang yang rakus.
5.     Apabila yang tidak dimilikinya itu adalah hal yang sangat dibutuhkan seperti orang lapar membutuhkan sepiring nasi, maka orang ini dinamakan dengan muththor (orang yang sangat membutuhkan)
Dalam uraiannya bab selanjutnya al ghazali menjelaskan lebih jauh tentang keutamaan fakir secara mutlaq. Tidak berhenti disitu beliau menjelaskan dengan gamblang tentang konsep fakir yang berkaitan denganqona’ah dan ridho dan konsep fakir dan kaya[12]. Sungguh konsep yang ditawarkan sangat menarik dan untuk diteliti lebih lanjut. Kalau dilihat dari sisi ilmu ekonomi konsep zuhud, qona’ah, ridho dan haris (rakus) sangat berkaitan erat dengan konsep economic behavior. Sedang fakir erat hubungannya dengan kemiskinan dan kelangkaan suatu barang (scarcity).
Penutup
Untuk mengkaji pemikiran ekonomi imam al Ghazali memerlukan tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat tetapi membutuhkan waktu yang cukup dan referensi yang memadai juga. Dari penelaahan sekilas ini penulis memdapatkan banyak ilmu baru yang sangat bermanfaat dalam hal ekonomi. Sungguh semakin penulis baca dan teliti karangan ihya ini sarat dengan analisis ekonomi yang sangat berguna untuk membangun dan mengkontruksi ekonomi islam.
Ada beberapa pertanyaan yang mungkin dapat di ulas lebih jauh dalam membahas pemikiran al-ghazali. Sebagaimana penulis ketahui pemikiran ekonomi al-ghazali tersebar di seluruh isi kitab ihya, banyak pertanyaan yang harus di jawab. Misalnya saja, pembahasan dinar dirham banyak terdapat di bawah kitab syukur dan pembahasan pasar evolusi pasar dan barter  terdapat dibawah kitab dam dunnya. Di satu sisi beliau menganjurkan kerja dan satu sisi beliau menganjurkan untuk bersikap zuhud, kedua hal ini seakan akan terlihat ada kontradiksi. Wallahu a’lam bi al-shawab

Referensi
Abdur Rohman M,E.Ikonsep ekonomi al-ghazali dalam kitab ihya’ ulumuddinPT. Bina Ilmu. Yogyakarta
ahmad dimyati teori keuangan islam; rekontruksi metodologis terhadap teori keuangan al-Ghazali UII press 2007
Muhammad Findi. Membedah Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali. http://republika.co.id :8080/koran/195/120001/Membedah_Pemikiran_Ekonomi_Al_Ghazali. Kamis, 30 September 2010 pukul 13:13:00
Al-Ghazali, Abu hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ Ulum al Din.  Jil 1-5. Darul fikri. Beirtu libanon. 1999
Al-Ghazali, Abu hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ulum al din. Terjemah prof. Tk. H. ismial yakub SH, MA.. victori ajensi. Jil.3, 5 and 7. kuala lumpur. 1988
Ghanzafar, syed mohammad. And islahi, Abdul Azim. Economic thought of Al-Ghazali. Islamic economics research series, king abdul aziz university-2. Jeddah Saudi Arabia. 1997.



[1] M. Ahmad sheriff dalam ahmad dimyati teori keuangan islam; rekontruksi metodologis terhadap teori keuangan al-Ghazali UII press 2007. Hal 51
[2] Ihya. Kitab al kasbu. Juz 2 hal 55
[3] Ibid hal 55
[4] Ibid hal 55-57
[5] Ibid hal 58-65
[6] Ibid hal 65-71
[7] Ibid hal 71-74
[8] Ibid hal 74-78
[9] Ihya. Juz 4  kitab faqr wa zuhud hal 162
[10] Ibid 162-13
[11] Ibid hal 163-164
[12] Ibid hal 165-175

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentt yoo..