Pendahuluan
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid
Muhammad Al-Ghazali. Panggilan, atau gelar Al-Ghazali Zain ad Diin ath Thusy
adalah Hujjatul Islam atau Hujjatul Islam Abu Hamid. Lahir pada tahun 450 H /
1058 M. Tepatnya pertengahan abad ke lima Hijriah, dan wafat pada tahun 505 H /
1111 M, tepatnya pada tanggal 14 Jumadil ath-Thani, hari senin di Thus, sebuah kota di Khurasan (Iran) tempat
kelahirannya.
Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir
Islam yang banyak menguasai bidang keilmuan, baik ilmu filsafat, ilmu sufisme,
ilmu fiqih, dan ilmu-ilmu lainnya. Reputasinya sebagai seorang cendikiawan
muda, membuat Nizam Al Mulk Al Tusi mengangkat Al-Ghazali sebagai pimpinan
bidang Teologi, Universitas Nizamiyyah Baghdad-Iraq, pada tahun 1091, di usia 34
tahun. Dari hasil kerja kerasnya, lahirlah sebuah kitab klasik yang monumental,
yang berjudul Ihya ‘Ulum al-Din (menghidupkan ilmu agama atau pegangan hidup
dalam Islam), di samping karya-karya lainnya. Kitab ini berisi pesan-pesan
tentang kebangkitan agama atau petunjuk hidup dalam Islam. Dan kitab Ihya ‘Ulum
Al-Din, sampai dengan saat
ini masih mendapatkan perhatian khusus dari para peneliti, akademisi, baik dari
kalangan muslim maupun non muslim.
Kaitannya dalam ekonomi, pandangan al-Ghazali memiliki karakter
yang khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis sebagai akibat pengaruh basic
keilmuan tasawufnya. Namun yang menarik, pandangan-pandangannya tidak terbatas
pada dataran filosofis, melainkan menunjukkan perpaduan yang serasi antara
kondisi riil yang terjadi dalam masyarakat dengan nilai-nilai filosofis
tersebut, dengan disertai argumen yang logis (abdurahman, 2010)
Maka dari itu dalam artikel kali ini mencoba membahas sebagian
pemikiran ekonomi Al-Ghazali, terutama dalam konsep filosofi ekonomi dengan
mengambil referensi utama kitab tersebut.
Al-Ghazali dalam
sorotan
Dalam kajian sejarah pemikiran ekonomi islam,
imam al-Ghazali tidak luput dari kajian para ekonom saat ini, terutama ekonom
muslim yang sedang giat-giatnya menggalakan untuk memakai konsep islam sebagai
pinsip dasarnya. sebagai contohnya, Muhammad Nejatullah siddiqi dalam bukunya reading in
Islamic economic thought (1972) menjelaskan tentang pemikiran ekonomi al-Ghazali dalam
kerangka periodisasi sejarah pemikiran ekonomi islam. Ganzafar dalam bukunya economic
thought of al-Gazali (1997),
menjelaskan dengan gamblang konsep pemikiran beliau tentang ekonomi baik
pemikirannya yang normative maupun yang positif. Tak lupa beliau melampirkan
penggalan penggalan statement al-Ghazali secara runut.
Bahkan di Indonesia setidaknya ada dua buku
yang khusus membahas pemikiran beliau. Pertama tulisan Ahmad Dimyati dengan
judul teori
keuangan islam; rekontruksi metodologis terhadap teori keuangan al-Ghazali (2007). Dalam tulisan Abdur Rohman yang berjudul konsep
ekonomi al-ghazali dalam kitab ihya’ ulumuddin (2010) menawarkan suatu gagasan Ekonomi
al-Ghazali menelusuri konsep ekonomi dalam Ihya Ulum al-Din. Dengan
memperhatikan setting kehidupannya, sosial, politik, ekonomi dan karir
ilmiahnya, barangkali dapat membantu untuk menerima bahwa sebenarnyalah figur
al-Ghazali memiliki pandangan yang cukup modern untuk ukuran masanya di bidang
ekonom.
Sebaran pemikiran
ekonomi al-Ghazali
Memetakan isi buku ihya, Muhammad Badawi
Tiyanah dalam pengantarnya untuk kitab tersebut membaginya kedalam empat
bagian, yaitu pertama di sebut rub’ al ibadat (act of worship), yang memuat pembahasan tentang ilmu, kaidah
kaidah umum di bidang akidah maupun permasalahan figh pada umumnya. Bagian
kedua disebut dengan rub’ al adat (custom), yang menjelaskan aspek norma dan etika dalam berbagai
aspek aktifiats kehidupan sehari hari. Bagian ketika disebut dengan rub’ al
muhlikat(destructive quality
of the soul) yang menjelaskan tentang berbagai penyakit moral dan bahayanya
bagi kehidupan masyarakat. Dan terakhir rub’ al munjiyat (quality leading to salvation). Bagian
terakhir ini membahas masalah aklaq terpuji yang dapat menyelamatkan manusia
dari kesengsaraan dunia[1].
Untuk sebaran pemikiran ekonomi imam
al-Ghazali, sebenarnya terdapat diseluruh kitabnya. Namun kebanyakan terdapat
dalam juz 2, 3, dan 4 atau dalam 3 rub’ terakhir. Sebagaimana yang ditulis oleh
Ganzafar (1997), pemikiran ekonominya mencakup berbagai aspek. Ganzafar
mengelompokkan dalam 2 kelompok yaitu pondasi pilosofi ekonomi tercakup
didalamnya tentang keseimbangan aktifitas dunia dan akherat, kesejahteraan dan
kemiskinan, hidup berbagi dan kesetaraan kekayaan, usaha ekonomi dan
tawakkal. Kedua tentang pemikiran ekonominya yang tercakup dalam 3 bagian
besar pertama tentang perdagangan dan evolusi pasar, dimana didalamnya berisi
tentang demand supply, harga dan profit, profit dunia dan akherat dan nilai etika
pasar. Kedua masalah aktifitas produksi dan hirakinya. Ketiga masalah uang dan
evolusinya. Keempat dibahas masalah peran Negara dalam ekonomi dan keuangan
public.
Ekonomi zuhud
Al-Ghazali dalam kitab al
kasbu, mendiskusikan
berbagai jalan hidup yang islami yang berkaitan dengan dengan aktifitas
ekonomi. Dalam pembukaan kitab tersebut beliau membagi manusia dalam 3 golongan
yaitu:
1.
Orang yang disibukkan
oleh dunianya dari pada akheratnya. Golongan ini disebut dengan orang orang
yang merugi (halikin).
2.
Orang yang kehidupannya
di sibukkan oleh akheratnya daripada dunianya, maka mereka termasuk kedalam
orang orang yang beruntung ( faizin).
3.
Orang yang pertengahan
artinya orang yang meyeimbangkan antara dunia dan akheratnya, maka orang yang
demikian ini disebut dengan muqtashid[2].
Sangat menarik, al-Ghazali sudah menggunakan
kata iqtishod dalam artian seseorang melakukan aktifitas
ekonomi. Seseorang tidak dikatakan iqtishod sampai orang itu dalam aktifitas ekonominya
dengan jalan yang lurus, melakukan aktifitas dunianya sebagai wasilah menuju akheratnya dan dalam mencari rizki
harus esuai dengan adab adab syariah[3].
Al-Ghazali dengan gamblang memberikan batasan
batasan yang jelas bahwa tujuan hidup adalah untuk mengejar akherat, aktifitas
ekonomi bukannlah tujuan tetapi hanya sebagai wasilah saja untuk mencapai
tujuan yang sebenarnya yaitu akherat. Dalam bab fardhu kasbu (kewajiban mencari rezeki) beliau memberikan
dalil dalil yang berkaitan dengan keharusan dalam mencari nafkah dan pembagaian
waktu untuk bekerja[4].
Masih dalam kitab al kasbu, setelah membahas masalah akad akad berkaitan
dengan perdagangan seperti jual beli, riba, salam, ijarah, syirkah dan utang
piutang[5],
beliau menjelaskan tentang fungsi pasar yang berbasis pada sejumlah moral dan
etika dimana komunitas bisnis terikat dalam aktifitas perdagangan mereka. Dia
mendorong untuk mengeleminasi berbagai macam kecurangan yang ada dipasar
seperti penimbunan, monopoli, gambling (judi), iklan yang menyesatkan[6].
Kemudian beliau memberikan 6 arahan sebagai patokan di pasar[7];
1.
Pedagang dilarang
menaikan harga untuk menghasilkan keuntungan yang lebih.
2.
Pembeli boleh membeli
dengan harga yang tinggi jika penjualnya miskin, jika penjualnya kaya maka
perbuatan tersebut tidak terpuji. (diskriminasi harga)
3.
Ketika meminta
pembayaran utang, dianjurkan untuk mempermudah dan flexible untuk mengakomodasi pihak yang terutang.
4.
Jika memiliki utang
hendaklah segera melunasinya, agar tidak menyusahkan pihak lainnya.
5.
Jika seseorang ingin
membatalkan transaksi, maka pihak satunya dianjurkan untuk memenuhi permintaan
tersebut.
6.
Jika menjual kepada
orang miskin yang tidak punya harta dianjurkan memberi keringan kredit tanpa
adanya batasan waktu jatuh tempo.
Menurut beliau, seseorang dapat
mentransformasikan aktifitas duniawinya kepada tujuan untuk memastikan pahala
dari Allah SWT yang mana hal itu adalah tujuan akhir manusia[8].
Pertama niat yang benar setiap memulai bisnis. Kedua dalam setiap bisnisnya
harus memenuhi kewajjiban socialnya (fardhu kifayah). Ketiga, kesuksesan dunia
jangan sampai menghalangi kesuksesan akherat. Keempat, selalu ingat kepada
Allah setiap saat. Kelima, tidak rakus dalam berbisnis. Keenam, tidak hanya
menjauhi yang haram tapi juga menjauhi yang subhat.
Sebenarnya, pemikiran beliau tentang zuhud
terdapat kajian tersendiri dalam bukunya ihya yaitu kitab faqr wa zuhud. Dalam bagian kitab ini dijelaskan dengan
detail mulai dari apa makna, hakekat zuhud dan faqir dalam islam. Dan tak luput
juga motivasi hal yang membawa orang menjadi seorang zuhud. Menarik,
bahwa konsep zuhud yang beliau tawarkan -dan para sufi pada umumnya- luput
(ataupun kalau ada hanya sekilas) dari kajian dan penelitian para ekonom saat
ini. Kajian ekonomi zuhud ini akan menarik jika dikaitkan dengan konsep want dan need. Dan juga bila dikaitkan dengan permasalahan
kemiskinan (poverty) dan kesejahteraan (welfare). Di zaman umar I dan II,
tercatat bahwa pernah ada masa dimana dana zakat yang terkumpul tidak habis
disalurkan. Para sahabat melaporkan bahwa sudah tidak ada lagi warga yang
berhak menerima zakat. Sedang harta zakat masih menumpuk di bait al-mal.
Kembali pada pemikiran ekonomi
zuhudnya, dalam bagian pertama kitab faqr wa zuhud, al-Ghazali menguraikan dengan jelas dan detail
mengenai hakikat fakir, keutamaan fakir, keutamaan fakir atas orang kaya, adab
sopan santun orang fakir pada ke fakir-annya, penjelasan sopan santun orang
fakir dalam menerima pemberian orang, penjelasan pengharam meminta-minta tanpa
adanya darurat, penjelasan kadar orang kaya yang diharamkan meminta dan
penjelasan hal ihwal orang orang yang meminta[9].
Lebih lanjut dalam bahasan masalah hakikat fakir, beliau mengatakan bahwa
kefakiran itu adalah ibarat dari ketiadaan apa yang dibutuhkan. Adapun
ketiadaan apa yang tidak dibutuhkan maka itu tidak disebut fakir. Jikalau apa yang dibutuhkan itu ada dan
tersedia, niscaya orang yang membutuhkan itu disebut orang yang fakir[10].
Selanjutnya al-Ghazali membagi fakir dalam dua hal pertama fakir yang dinisbatkan kepada Allah dengan sebutan faqr mutlaq, artinya semua makhluk yang ada didunia ini
adalah faqir dan Allah adalah ghonni(kaya). Kedua adalah faqr yang dinisbatkan kepada harta benda,
al-Ghazali membaginya dalam lima kelompok[11];
1.
Yang paling tinggi
tingkatannya adalah seseorang jika dataing kepadanya harta kekayaan tetapi
membecinya dan merasa tersiksa dengan adanya harta tersebut. Kemudian dia lari
daripadanya. Dan menjaga dirinya dari kesibukan dan kejahatan harta tersebut
maka dia adalah orang yangZuhud.
2.
Jika datang kepadanya
harta, namun tidak mencintainya dengan penuh kecintaan karena mendapatkannya.
Dan tidak membencinya dengan penuh kebencian yang menyiksa karenanya. Kemudian
ia zuhud jika harta itu datang kepadanya, maka orang tersebut disebut orang yang
ridho.
3.
Dengan adanya harta
lebih disukai daripada ketiadaan harta karena kecintaannya pada harta tersebut.
Namun kecintaannya tersebut tidak menggerakkannya untuk mencarinya. Jika harta
tersebut datang kepadanya dengan bersih tanpa di minta niscaya diambilnya
dengan gembira. Namun jika untuk memperolehnya harus dengan susah payah, dia
tidak berangkat untuk mencarinya. Maka orang tersebut termasuk kedalam golongan
yang qona’ah yaitu orang yang merasa cukup dengan apa
adanya.
4.
Ketika seorang tidak
mencari karena dia lemah, namun seandainya dia mampu maka ia akan dengan senang
mencari harta tersebut meski harus dengan susah payah. Orang yang demikian ini
disebut sebagai orang yang rakus.
5.
Apabila yang tidak
dimilikinya itu adalah hal yang sangat dibutuhkan seperti orang lapar
membutuhkan sepiring nasi, maka orang ini dinamakan dengan muththor (orang
yang sangat membutuhkan)
Dalam uraiannya bab selanjutnya al ghazali
menjelaskan lebih jauh tentang keutamaan fakir secara mutlaq. Tidak berhenti disitu beliau menjelaskan
dengan gamblang tentang konsep fakir yang berkaitan denganqona’ah dan ridho dan konsep fakir dan kaya[12].
Sungguh konsep yang ditawarkan sangat menarik dan untuk diteliti lebih lanjut.
Kalau dilihat dari sisi ilmu ekonomi konsep zuhud, qona’ah, ridho dan haris
(rakus) sangat berkaitan erat dengan konsep economic behavior. Sedang fakir erat hubungannya dengan
kemiskinan dan kelangkaan suatu barang (scarcity).
Penutup
Untuk mengkaji pemikiran ekonomi imam al
Ghazali memerlukan tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat tetapi
membutuhkan waktu yang cukup dan referensi yang memadai juga. Dari penelaahan
sekilas ini penulis memdapatkan banyak ilmu baru yang sangat bermanfaat dalam
hal ekonomi. Sungguh semakin penulis baca dan teliti karangan ihya ini sarat dengan analisis ekonomi yang sangat
berguna untuk membangun dan mengkontruksi ekonomi islam.
Ada beberapa pertanyaan yang mungkin dapat di
ulas lebih jauh dalam membahas pemikiran al-ghazali. Sebagaimana penulis
ketahui pemikiran ekonomi al-ghazali tersebar di seluruh isi kitab ihya, banyak
pertanyaan yang harus di jawab. Misalnya saja, pembahasan dinar dirham banyak
terdapat di bawah kitab syukur dan pembahasan pasar evolusi pasar dan barter terdapat
dibawah kitab dam dunnya. Di satu sisi beliau menganjurkan kerja dan
satu sisi beliau menganjurkan untuk bersikap zuhud, kedua hal ini seakan akan
terlihat ada kontradiksi. Wallahu a’lam bi al-shawab
Referensi
Abdur Rohman M,E.Ikonsep ekonomi al-ghazali dalam kitab ihya’
ulumuddin. PT.
Bina Ilmu. Yogyakarta
ahmad dimyati teori keuangan islam; rekontruksi metodologis terhadap
teori keuangan al-Ghazali UII press 2007
Muhammad Findi. Membedah Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali. http://republika.co.id :8080/koran/195/120001/Membedah_Pemikiran_Ekonomi_Al_Ghazali. Kamis, 30
September 2010 pukul 13:13:00
Al-Ghazali, Abu hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ Ulum al
Din. Jil 1-5. Darul
fikri. Beirtu libanon. 1999
Al-Ghazali, Abu hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ulum al
din. Terjemah prof. Tk. H. ismial yakub SH, MA.. victori ajensi. Jil.3, 5 and 7. kuala lumpur. 1988
Ghanzafar, syed mohammad. And islahi, Abdul Azim. Economic
thought of Al-Ghazali. Islamic economics
research series, king abdul aziz university-2. Jeddah Saudi Arabia. 1997.
[1] M. Ahmad sheriff dalam ahmad dimyati teori
keuangan islam; rekontruksi metodologis terhadap teori keuangan al-Ghazali UII press 2007. Hal 51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentt yoo..