Ditulis oleh Abdur
Rosyid
|
Kita, manusia, adalah makhluq Allah yang unik dan istimewa. Kita
tercipta dari dua unsur yang sungguh berbeda satu sama lain: tanah yang
berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari langit. Terciptanya kita dari
tanah menjadikan kita sebagai makhluq yang membutuhkan hal-hal yang bersifat
‘bumi’ seperti makan, minum, dan kebutuhan biologis. Sedangkan unsur ruh yang
ada dalam diri kita menjadikan kita sebagai makhluq yang membutuhkan hal-hal
yang bersifat ‘langit’ seperti iman, ilmu, dan semacamnya.
Allah telah mengilhamkan dalam diri kita dua potensi: potensi
baik (at-taqwa) dan potensi buruk (al-fujur). Kemudian Allah memberikan
kepada kita kebebasan untuk memilih: beriman atau kufur, menjadi baik atau
menjadi buruk. Setelah memilih, kita tentu saja harus menanggung segala
konsekuensinya. Dan konsekuensi tersebut tidak lain adalah balasan baik
berupa surga dan balasan buruk berupa neraka. Apapun yang akan kita dapatkan,
baik surga ataupun neraka, merupakan hasil dari pilihan kita sendiri. Karena
itu jika ada seorang manusia yang nantinya masuk kedalam neraka, itu tidak
lain adalah karena kezhalimannya kepada dirinya sendiri. Allah sedikit pun
tidak berbuat zhalim kepada hamba-hamba-Nya.
Allah telah memberitahukan kepada kita melalui wahyu-Nya bahwa
kita diciptakan untuk beribadah dan menyembah kepada-Nya semata, tanpa
menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Seluruh kehidupan kita harus bernilai
ibadah. Kita tidak hanya beribadah kepada Allah ketika kita sedang melakukan
sholat dan berbagai ritual yang lainnya. Kita harus beribadah kepada Allah
dalam semua sisi kehidupan. Caranya adalah dengan senantiasa menjadikan gerak
hidup kita diridhai oleh Allah, yakni dengan mematuhi syariat-Nya yang telah
Ia jelaskan dalam wahyu-Nya yang suci dan mulia.
Manusia telah menerima tawaran amanah dari Allah untuk
memakmurkan alam semesta. Untuk itu, Allah telah menganugerahkan berbagai
macam potensi kepada manusia untuk bisa memikul amanah yang amat berat tersebut.
Allah telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk (fii ahsani
taqwiim). Manusia tidak hanya dianugerahi jasad yang menawan, namun juga
dianugerahi hati dan akal pikiran untuk bisa mencerap ilmu pengetahuan dan
membedakan antara yang baik dan yang buruk. Disamping itu, Allah juga telah
menundukkan alam semesta untuk manusia. Karenanya, kita bisa memanfaatkan
segala hal yang ada di alam ini, baik itu benda mati, tumbuh-tumbuhan,
binatang dan sebagainya.
Sebenarnya kita adalah makhluk yang lemah. Fisik kita tidaklah
sekuat singa atau gajah. Namun dengan akal yang Allah berikan, kita bisa
mencari cara untuk melindungi diri dari binatang-binatang buas semacam itu.
Bahkan, kita pun bisa membinasakan hewan-hewan tersebut jika kita mau. Kita
tidak diciptakan untuk bisa hidup dalam air. Namun dengan akal yang Allah
berikan, kita bisa menciptakan kapal laut dan kapal selam untuk mengarungi
perairan yang luas dan dalam. Kita tidak dikaruniai sayap untuk bisa terbang
sebagaimana burung. Namun dengan akal yang Allah berikan, kita bisa
menciptakan berbagai macam peralatan yang memungkinkan kita untuk terbang di
angkasa, bahkan ke luar angkasa. Allah benar-benar telah memberikan anugerah
yang besar kepada kita, manusia. Subhanallah, maha suci Allah!
Oleh karena itu, kita wajib mensyukuri segala yang telah Allah
anugerahkan kepada diri kita, berupa jasad, hati dan akal kita. Salah satu
caranya adalah dengan senantiasa menjaga ketiga hal tersebut, secara
seimbang. Jasad kita harus kita rawat dengan cara memberikan kebutuhan-kebutuhannya
seperti makanan, minuman, kebutuhan biologis dan olahraga. Hati kita juga
harus senantiasa kita jaga dengan cara membersihkannya dari penyakit-penyakit
hati lalu menghiasinya dengan sifat-sifat yang terpuji. Demikian pula akal
kita juga harus kita pelihara dengan cara mengasah kecerdasannya dan
menghiasinya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Demikianlah Allah
memerintahkan kepada kita untuk menjaga ketiga elemen diri kita tersebut
secara seimbang, tanpa menelantarkan salah satu atau sebagiannya.
Yang seringkali dilakukan oleh manusia adalah hanya
memperhatikan jasadnya, dan teledor dalam memperhatikan jiwanya. Padahal jiwa
itulah yang membuat manusia menjadi unik dan istimewa. Dan jiwa itulah yang
dilihat oleh Allah, bukan jasad. Banyak manusia tidak merasa ketika jiwanya
telah sedemikian kotor. Ini tentu saja amat menyedihkan. Kita harus tahu
bahwa jiwa kita sesungguhnya telah menyimpan berbagai sifat dasar yang kurang
terpuji. Jika kita tidak berusaha untuk mengendalikan dan mengekang sifat-sifat
tersebut, niscaya sifat-sifat itu akan terus tumbuh dan berkembang mengotori
jiwa kita. Diantara sifat-sifat dasar itu adalah tergesa-gesa, suka
berkeluh-kesah, suka lalai, suka melampauai batas, pelit, suka ingkar, suka
membantah, zhalim, dan jahil. Tugas kita adalah mengubah sifat-sifat itu
menjadi sifat-sifat yang terpuji. Hal ini tentu saja membutuhkan
kesungguh-sungguhan (mujahadah).
Seberapa jauh kita bermujahadah dalam mengekang jiwa kita, akan
menentukan kualitas jiwa kita. Jiwa yang tidak mengekang syahwatnya akan
senantiasa terobsesi untuk melakukan berbagai macam keburukan (an-nafs
al-ammarah bis-suu’). Dan jika jiwa tersebut terus mengumbar syahwatnya maka
ia akan menjadi budak syahwat. Kualitas jiwa yang lebih tinggi dari ini adalah
jiwa yang labil dan senantiasa bergejolak, antara kebaikan dan keburukan.
Apabila ada keinginan amal shalih ia berpikir-pikir dulu. Pun bila terbersit
kecenderungan maksiat ia juga pikir-pikir dulu. Lalu ketika ia terjatuh dalam
sebuah kemaksiatan, ia pun akan menyesal dan mencaci maki dirinya atas
kesalahannya tersebut. Dan untuk itulah ia disebut sebagai an-nafs
al-lawwamah. Adapun kualitas jiwa yang tertinggi adalah ketika ia benar-benar
tenang dalam kebaikan dan taqwa. Ia tidak tergoda oleh berbagai rayuan
kemaksiatan. Inilah jiwa yang tenang dan tenteram (an-nafs al-muthmainnah).
Dengan ketinggian kualitas jiwanya, manusia akan mendapatkan
kedudukan yang tinggi disisi Allah. Pada level tertentu, ia bahkan dikatakan
lebih tinggi kedudukannya daripada malaikat, karena taatnya malaikat bersifat
taken for granted (tanpa pilihan) sementara taatnya manusia bersifat
mukhayyar (atas pilihannya sendiri). Namun ketika seorang manusia memiliki
kualitas jiwa yang rendah, hanya diperbudak oleh syahwatnya semata, ia pun
tidak lagi berbeda dengan binatang, bahkan lebih rendah. Yang demikian itu
karena ia hidup tanpa aturan seperti binatang padahal ia dikaruniai hati dan
akal pikiran. Adapun hewan memang pantas hidup liar dan tanpa aturan karena
memang tidak dikaruniai hati dan akal pikiran.
Pada akhirnya, diri kita sendirilah yang akan menentukan kita
akan menjadi apa dan siapa, karena kita adalah makhluq yang mukhayyar, bebas
untuk menentukan pilihan. Tetapi ingat, setiap pilihan pasti ada
konsekuensinya!
|
Minggu, 14 April 2013
SIAPAKAH DIRI KITA? (MA’RIFATUL INSAN)
Label:
Allahu Akbar,
islam
Lokasi: Samarinda
Samarinda, Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentt yoo..