A. Pendahuluan
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan masalah
ekonomi yang mana melibatkan hubungan antar manusia dengan manusia lainnya,
hubungan itu harus didasarkan pada norma – norma agama islam yang mengatur segala
aspek kehidupan termasuk yang berkaitan dengan masalah mu’amalah. Dalam
konteks, usaha mengembangkan system ekonomi islam, kita mencoba melihat sebuah
konsep pemikiran yang sangat brilian pada waktu itu, sebagai inspirasi dan
petunjuk. Untuk itu penulis mencoba menyampaikan pokok – pokok pikiran dari
salah satu ulama yaitu: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berkaitan dengan
masalah ekonomi, meskipun jarak antara kita dan lahirnya beliau sangat jauh. Ia
hidup pada akhir abad ke 7 dan awal abad ke 8 Hijriah, dia memiliki ilmu
pengetahuan yang sangat dalam tentang ajaran islam. Islam masa kini membutuhkan
pandangan ekonomi yang jernih tentang apa yang diharapkan dan bagaimana sesuatu
itu bisa dilakukan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kebebasan dalam
berusaha dan hak milik, yang dibatasi oleh hukum moral dan diawasi oleh negara
yang adil dan mampu menegakkan hukum syari’at. Seluruh kegiatan ekonomi
dibolehkan, kecuali yang secara tegas dilarang oleh syari'at.
B. Biografi Singkat Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqiyyudin Ahmad bin Abdu
Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabbiul Awwal 661
H). Ia berasal dari kelurga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman
dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hambali dan penulis sejumlah buku.[1]
Tradisi lingkungan keilmuan yang baik ditunjang dengan
kejeniusannya telah mengantarkan beliau menjadi ahli
dalam tafsir, hadis, fiqih, matematika
dan filsafat dalam usia masih belasan tahun. Selain itu beliau
terkenal sebagai penulis, orator dan sekaligus pemimpin perang yang handal.
Pada masa mudanya ia mengungsi karena perbuatan suku Mongol, dan tiba di Damaskus
bersama orang tuanya pada 1268 M pada waktu itu ia hamper berusia enam tahun.
Pada tahun 1282 M ketika ayahnya meninggal, Ibnu Taimiyah menggantikan
kedudukan sang ayah sebagai Guru Besar Hukum Hambalidan memangku jabatan
ini selama 17 tahun.[2]
Cukup banyak karya-karya pemikirannya termasuk dalam bidang
ekonomi yang dihasilkan. Pemikiran ekonomi beliau banyak terdapat dalam sejumlah
karya tulisnya, seperti Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyah, serta Al-Hasbah fi Al-Islam.
Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak pada wilayah Makro Ekonomi,
seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga, uang dan
kebijakan moneter.[3]
Ia juga dikenal sebagai seorang pemabaharu dalam artian
memurnikan ajaran Islam agar tidak tercampur dengan hal yang berbau bid’ah.
Diantara elemen gerakan reformasinya adalah; Pertama, melakukan
reformasi melawan praktek-praktek yang tidak Islami. Kedua, kembali
kearah prioritas fundamental ajaran Islam dan semangat keagamaan yang murni, sebaliknya
memperdebatkan ajaran yang tidak fundamental dan sekunder. Ketiga,berbuat
untuk kebaikan publik melalui intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi,
mendorong keadilan dan keamanan public serta menjaga mereka dari sikap
eksploitatif dan mementingkan diri sendiri.[4]
C. Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah
1. Mekanisme Pasar
Pasar dalam pengertian ilmu ekonomi adalah pertemuan antara
permintaan dan penawaran. Dalam pengertian ini, pasar bersifat interaktif,
bukan fisik. Adapun mekanisme pasar adalah proser penentuan tingkat harga
berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Pertemuan antara permintaan
(demand) dan penawaran (supply) dinamakan equilibrium price (harga
seimbang).[5]
Ibnu taimiyah juga memiliki pandangan tentang pasar bebas,
dimana suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Ia
mengatakan;
“naik turunnya harga tak selalu berkait dengan penguasaan
(zulm) yang dilakukan oleh seseorang. Sesekali alasannya adalah karena adanya
kekurangan dalam produksi atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta.
Jadi, jika kebutuhan terhadap jumlah barang meningkat, sementara kemampuan
menyediakannya menurun, harga dengan sendirinya akan naik. Disisi lain, jika
kemampuan penyediaan barang meningkat dan permintaan menurun, harga akan turun.
Kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa
saja berkaitan dengan sebab yang tidak melibatkan ketidakadilan. Atau sesekali
bisa juga disebabkan oleh ketidakadilan. Maha besar Allah, yang menciptakan
kemauan pada hati manusia”.[6]
Dari pernyatan diatas terdapat indikasi kenaikan harga yang
terjadi disebabkan oleh perbuatan ketidakadilan atau zulm para
penjual. Perbuatan ini disebut manipulasi yang mendorong terjadinya ketidak
sempurnaan pasar. Tetapi pernyataan ini tidak bisa disamakan dalam segala
kondisi, karena bisa saja alasan naik dan turunnya harga disebabkan oleh
kekuatan pasar.[7] Tampaknya
ada kebiasaan yang terjadi di zaman Ibnu Taimiyah, kenaikan harga terjadi
akibat ketidakadilan atau malapraktek dari para penjual, sehingga kata yang
digunakan adalah zulm,yang berarti pelanggaran hukum atau ketidakadilan.
Ibnu taimiyah menyebutkan dua sumber persediaan, yakni
produksi lokal dan import barang-barang yang diminta (ma yukhlaq aw yujlab min
dzalik al-mal al-matlub). Untuk menggambarkan permintaan terhadap barang
tertentu, ia mengguanakan istilah raghbah fi al-syai yang berarti
hasrat terhadap sesuatu, yakni barang. Hasrat merupakan salah satu faktor
terpenting dalam permintaan, faktor lainnya adalah pendapatan yang tidak disebutkan
oleh Ibnu Taimiyah. Perubahan dalam supplydigambarkannya sebagai kenaikan
atau penurunan dalam persediaan barang-barang, yang disebabkan oleh dua faktor,
yakni produksi lokal dan impor.[8]
Pernyataan Ibnu Taimiyah diatas menunjuk pada apa
yang kita kenal sekarang sebagai perubahan fungsi penawaran dan permintaan,
yakni ketika terjadi peningkatan permintaan pada harga yang sama dan penurunan
pada harga yang sama atau, sebaliknya, penurunan permintaan pada harga yang
sama dan pertambahan persediaan pada harga yang sama. Apabila terjadi penurunan
persediaan disertai dengan kenaikan permintaan,
harga-harga dipastikan akan mengalami kenaikan, dan begitu pula
sebaliknya.[9]
Namun demikian, kedua
perubahan tersebut tidak selamanya beriringan. Ketika permintaan meningkat
sementara persediaan tetap, harga-harga akan mengalami kenaikan. Ibnu Taimiyah
menjelaskan,
“Apabila orang-orang
menjual barang dagangannya dengan cara yang dapat diterima secara umum tanpa
disertai dengan kezaliman dan harga-harga mengalami kenaikan sebagai
konsekuensi dari penurunan jumlah barang (qillah al-syai),atau peningkatan
jumlah penduduk (katsrah al-khalq), hal ini disebabkan oleh Allah SWT”.[10]
Pernyataan Ibnu Taimiyah
diatas tampaknya menggambarkan perubahan secara terpisah. Penurunan barang
dengan kata lain adalah jatuhya penawaran. Sedangkan meningkatnya penduduk
akan menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan, karena itu bisa dikatakan
sebagai naiknya permintaan. Naiknya harga karena jatuhnya supply atau
naiknya permintaan, dalam kasus itu dikarakteristikkan karena Allah SWT,
mengindikasikan bahwa mekanisme pasar itu merupakan kondisi alamiah yang impersonal.
Ibnu Taimiyah memberikan
penjelasan yang rinci tentang beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan
tingkat harga. Berikut faktor-faktor tersebut :[11]
1. Permintaan masyarakat (al-ragabah) yang sangat
bervariasi (people’s desire) terhadap barang. Faktor ini tergantung pada jumlah
barang yang tersedia (al-matlub). Suatu barang akan semakin disukai jika
jumlahnya relatif kecil (scarce) daripada yang banyak jumlahnya.
2. Tergantung kepada jumlah orang
yang membutuhkan barang (demander/consumer/tullab). Semakin banyak jumlah
peminatnya, semakin tinggi nilai suatu barang.
3. Harga juga dipengaruhi oleh kuat lemahnya
kebutuhan terhadap suatu barang, selain juga besar dan kecilnya permintaan.
Jika kebutuhan terhadap suatu barang kuat dan berjumlah besar, maka harga akan
naik lebih tinggi jika dibandingkan dengan jika kebutuhannya lemah dan sedikit.
4. Harga juga akan bervariasi menurut
kualitas pembeli barang tersebut (al-mu’awid). Jika pembeli merupakan orang
kaya dan terpercaya (kredibel) dalam membayar kewajibannya, maka kemungkinan ia
akan memperoleh tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang
tidak kredibel (suka menunda kewajiban atau mengingkarinya).
5. Tingkat harga juga dipengaruhi oleh jenis uang yang
digunakan sebagai alat pembayaran. Jika menggunakan jenis mata uang yang umum
dipakai, maka kemungkinan harga relatif lebih rendah jika dibandingakan dengan
menggunakan mata uang yang tidak umum atau kurang diterima secara luas.
6. Hal di atas dapat terjadi karena
tujuan dari suatu transaksi haruslah menguntungkan penjual dan pembeli. Jika
pembeli memiliki kemampuan untuk membayar dan dapat memenuhi semua janjinya,
maka transaksi akan lebih mudah atau lancar dibandingkan dengan jika pembeli
tidak memiliki kemampuan membayar dan mengingkari janjinya. Tingkat kemampuan
dan kredibilitas pembeli berbeda-beda. Hal ini berlaku bagi pembeli maupun
penjualnya, penyewa dan yang menyewakan, dan siapa pun juga. Obyek dari suatu
transaksi terkadang (secara fisik) nyata atau juga tidak nyata. Tingkat harga
barang yang lebih nyata (secara fisik) akan lebih rendah dibandingkan dengan
yang tidak nyata. Hal yang sama dapat diterapkan untuk pembeli yang
kadang-kadang dapat membayar karena memiliki uang, tetapi kadang-kadang mereka
tidak memiliki uang cash dan ingin meminjam. Harga pada kasus yang pertama
kemungkinan lebih rendah daripada yang kedua.
7. Kasus yang sama dapat diterapkan pada orang yang
menyewakan suatu barang. Kemungkinan ia berada pada posisi sedemikian rupa,
sehingga penyewa dapat memperoleh manfaat dengan tanpa tambahan biaya apapun.
Akan tetapi, kadang-kadang penyewa tidak dapat memperoleh manfaat ini jika
tanpa tambahan biaya, seperti yang terjadi di desa yang dikuasai penindas atau
oleh perampok, atau di suatu tempat diganggu oleh binatang-binatang pemangsa.
Sebenarnya, harga sewa tanah seperti itu tidaklah sama dengan harga tanah yang
tidak membutuhkan biaya-biaya tambahan ini.
2. Mekanisme Harga
Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya
tarik menarik antara konsumen dan produsen baik dari pasar output(barang)
ataupun input (faktor-faktor produksi). Adapun harga diartikan
sebagai sejumlah uang yang menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu.[12]
Ada dua tema yang sering kali ditemukan dalam pembahasan
Ibnu Taimiyah tentang masalah harga, yakni kompensasi yang setara/adil (‘iwad
al-mitsl) dan harga yang setara/adil (tsaman al-mitsl). Dia berkata;“Kompensasi
yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah
esensi dari keadilan (nafs al-‘adl)”.[13]
· ‘Iwad
al-mitsl adalah penggantian sepadan yang merupakan nilai harga yang setara
dari sebuah benda menurut adat kebiasaan. Kompensasi yang setara tanpa ada
tambahan dan pengurangan, disinilah esensi dari keadilan.
· Tsaman
al-mitsl adalah nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya dapat
diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu
ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu.
Keadilan yang
dikehendaki oleh Ibnu Taimiyah berhubungan dengan prinsip la
dharar yakni tidak melukai dan tidak merugikan orang lain. Maka dengan
berbuat adil akan mencegah terjadinya kezaliman. Konsep Ibnu Taimiyah tentang
kompensasi yang adil dan harga yang adil, memiliki dasar pengertian yang
berbeda.
Dalam mendefinisikan
“kompensasin yang setara, Ibnu Taimiyah berkata: “yang dimaksud kesetaraan
adalah kuantitas dari objek khusus dalam penggunaan secara umum
(‘urf). Itu juga berkait dengan nilai dasar (rate/si’r) dan kebiasaan”.
Lebih dari itu ia menambahkan: “evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang
adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang
lain yang setara (ekuvalen)”. Inilah benar-benar adil dan benar-benar diterima
dalam penggunaannya.[14]
Permasalahan kompensasi yang adil, muncul ketika membongkar masalah
moral dan kewajiban hukum (berkaitan dengan kepemilikan barang). Adapun
prinsip-prinsip itu berkaitan dengan kasus-kasus berikut:
a) Ketika seseorang bertanggung jawab
menyebabkan terluka atau rusaknya orang lain (nifus), hak milik (amwal),
keperawanan dan keuntungan (manafi)
b) Ketika seseorang mempunyai kewajiban membayar
kembali barang atau profit yang setara atau membayar ganti rugi atas terlukanya
salah satu bagian dari anggota tubuhnya
c) Ketika seseorang dipertanyakan telah
membuat kontrak tidak sah ataupun kontrak yang sah pada peristiwa yang
menyimpang dalam kehidupan maupun hak milik.[15]
Jadi yang melatarbelakangi adanya konsep kompensasi yang adil
tersebut disebabkan oleh adanya praktek ketidakadilan yang terjadi pada masa
itu, dimana kesetaraan terhadap ganti rugi tidak diberlakukan sebagaimana
mestinya, maka dengan melihat kondisi tersebut, Ibnu Taimiyah memberikan
perbedaan yang signfikan antara kompensasi yang adil dengan harga yang adil.
Dan agaknya, konsep kompensasi yang adil ini merupakan sebuah pedoman bagi
masyarakat dan para hakim dalam melaksanakan tugasnya dipengadilan.
Ibu Taimiyah membedakan antara soal legal-etik dengan aspek ekonomi
dari harga yang adil. Ia menggunakan istilah kompensasi yang
setara ketika menelaah dari sisi legal etik dan harga yang
setara ketika meninjau dari aspek ekonomi. Karena merupakan sewbuah konsep
hukum dan moral, Ibnu Taimiyah mengemukakan konsep kompensasi yang
setara berdasarkan aturan moral yang sangat tinggi.[16]
Tentang perbedaan antara kompensasi yang setara dengan harga yang
setara, ia menguraikan: “jumlah kuantitas yang tercatat dalam kontrak ada dua
macam. Pertama, jumlah kuantitas yang sangat akrab di masa
masyarakat, yang biasa mereka gunakan. Kedua, jenis yang tak lazim
(nadir), sebagai akibat dari meningkat atau menurunnya kemaun (raghbah) atau
faktor lainnya. Ini menyatakan tentang harga yang setara.
Jelas adanya, bahwa kompensasi yang adil muncul dari adat kebiasaan
terhadap nilai harga sauatu benda. Sedangkan harga yang adil timbul karena
adanya aktivitas permintaan dan penawaran terhadap nilai harga benda. Adapun
persamaannya, sama-sama memakai konsep keadilan, yang mana harus didasarkan
pada kesepakatan dan persetujuan antara kedua belah pihak dengan tidak adanya
unsur merugikan pihak lain.
3. Regulasi Harga
Regulasi harga adalah pengaturan terhadap harga barang-barang yang
dilakukan oleh pemerintah. Regulasi ini bertujuan untuk memelihara kejujuran
dan kemungkinan penduduk biasa memenuhi kebutuhan pokoknya.[17]
Ibnu taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan
harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah
menurut hukum. Penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan
harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan
pasar bebas, yakni kelangkaansupply atau kenaikan demand.[18]
Pada kondisi terjadinya ketidak sempurnaan pasar, Ibnu Taimiyah
merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah. Misalnya dalam kasus
dimana komoditas kebutuhan pokok yang harganya naik akibat
adanya manipulasi atau perubahan harga yang disebabkan oleh
dorongan-dorongan monopoli. Maka dalam keadaan seperti inilah, pemerintah
harus menetapkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli.[19]
Ibnu Taimiyah menentang peraturan yang berlebihan ketika kekuatan
pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif, dengan tetap
memperhatikan pasar tidak sempurna. IbnuTaymiyah merekomendasikan bahwa bila
penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga yang lebih tinggi
dibandingkan dengan harga yang normal, padahal orang-orang membutuhkan barang
ini, maka penjual diharuskan untuk menjualnya pada tingkat ekuivalen.
Secara kebetulan, konsep ini bersinonim dengan apa yang disebut harga yang
adil. Lebih jauh, bila ada elemen-elemen monopoli (khususnya dalam pasar bahan
makanan dan kebutuhan pokok lainya), maka pemerintah harus turun tangan
melarang kekuatan monopoli.[20]
Otoritas pemerintah dalam melakukan pengawasan harga harus
dirundingkan terlebih dahulu dengan penduduk yang berkepentingan. Tentang ini,
Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib,
bahwa pemerintah harus menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh perwakilan
dan pasar. Yang lain juga diterima hadir, karenanya mereka harus diperiksa
keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang transaksi
jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan
harga yang didukung oleh para peserta musyawarah, juga penduduk semuanya. Jadi
keseluruhannya harus sepakat dengan hal itu.[21]
Jadi jelas agaknya, bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah sangat
memperhatikan keadaan pasar, bagaimana sikap perintah dalam mengawasi harga
yang beredar dipasaran, penyelidikan, maupun menetapkan harga. Dalam kondisi
ketidak sempuranaan pasar, maka pemerintah dianjurkan untuk mengadakan
pengawasan terhadap harga yang beredar. Namun syarat dan ketentuan juga
dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa dalam mengadakan pengawasan, penyelidikan,
maupun penetapan harga, harus dilakukan dengan musyawarah, dan seluruh oknum yang
terkait harus menyepakati dari hasil musyawarah tersebut.
Dalam kitabnya al-hisbah, penetapan harga diperlukan untuk
mencegah manusia menjual makanan dan barang lainnya hanya kepada kelompok
tertentu dengan harga yang ditetapkan sesuai keinginan mereka. Oleh karena itu,
regulasi harga (fixed price policy) sangat mempermudah usaha mikro dalam
menghadapi menipulasi pasar yang umumnya dilakukan oleh pengusaha besar.
Kebijakan ini sering digunakan oleh pemerintah untuk melindungi sektor usaha
mikro dari kehancuran.[22]
4. Hak Kekayaan
Hak kekayaan sama halnya dengan hak milik. Sebagaimana dari
literatur yang penulis lihat dalam bukunya Euis Amalia, beliau membahasakannya
dengan hak milik. Namun dalam literatur lain penulis temukan konsep kepemilikan
juga disebut dengan kekayaan. Seperti yang dijelaskan oleh Abdul Azim
Islahi dalam bukunya Economic Concepts of Ibn Taimiyah. Beliau
menyatakan Ibnu Taimyah membagi hak kekayaan pada tiga bagian, yaitu kekayaan
individu, kekayaan kolektif dan kekayaan negara.
a) Kekayaan Individu
Penggunaan kekayaan individu disesuaikan dengan apa yang ditetapkan
oleh syari’ah. Setiap individu dapat menggunakan kekayaan yang dimilikinya
secara produktif, memindahkannya, dan menjaganya. Penggunaan kekayaan individu
ini tetap pada batas-batas yang wajar, tidak boros, atau membelanjakannya di
jalan yang dilarang oleh syari’at. Ibnu Taimiyah juga tidak membenarkan untuk
melakukan eksploitasi terhadap orang-orang yang membutuhkan. Contoh eksploitasi
di sini adalah menimbun harta pada saat terjadi bencana kelaparan.[23]
b) Kekayaan
Kolektif
Kekayaan kolektif bisa
dalam bentuk yang bermacam-macam. Misalnya suatu barang yang dimiliki oleh dua
orang atau lebih, atau dimiliki oleh suatu organisasi atau asosiasi. Terdapat
juga barang atau objek yang dimiliki oleh suatu komunitas yang tinggal di suatu
daerah tertentu. Atau dimiliki oleh masyarakat secara keseluruhan. Kekayaan
seperti ini biasanya menjadi hajat hidup orang banyak.[24]
kekayaan yang dimiliki oleh dua orang atau lebih diserahkan
kepada aturan yang telah dibuat oleh masing-masing pihak dengan tidak saling
merugikan. Misalnya, sebuah kebun yang dimiliki bersama oleh dua orang. Salah
satu dari mereka ingin membuat tembok di tengah kebun, tetapi yang lain
keberatan, maka keberatan tersebut harus diterima.[25]
Adapun kekayaan kolektif yang disebutkan oleh hadis
adalahair, rumput, dan api. Jika kekayaan ini dikuasai oleh individu, maka akan
mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat. Air, rumput, dan api hanya sebagai
contoh saja, hal-hal lain yang serupa dengan itu dapat dimasukkan sebagai
kategori. Semua bahan mineral yang berasal dari tanah bebas seperti nafta,
emas, garam, minyak dan lain-lain juga termasuk kekayaan kolektif.[26]
c) Kekayaan Negara
Negara berhak untuk mendapatkan sumber-sumber penghasilan
dan kekuatan yang diperlukan untuk melaksanakan kewajibannya. Sumber utama dari
kekayaan Negara adalah zakat, ghanimah, dan fa’i. Selain dari sumber ini,
negara juga bisa menambah pemasukannya dengan menerapkan pajak-pajak lain
ketika kebutuhan mendesak muncul.[27]
Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan umum
(publik), kepala negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Merupakan
kewajiban negara untuk mengeluarkannya guna kepentingan publik.[28]
Dari ketiga pembagian tersebut, Ibnu Taimiyah mengelompokkan
hak kekayaan dari yang bersifat pribadi dan sampai pada tingkat kekayaan yang
dimiliki negara. Perbedaan dari ketiga bagian itu jelas dimiliki oleh setiap
unsur, serta terlihat cakupan dan batasan yang telah dijelasakan pada setiap
pembagian.
Adapun hak kekayaan individu meliputi kekayaan yang dimiliki
pribadi atau bersifat personal, hak kekayaan kolektif meliputi kekayaan yang
dimiliki bersama, dan hak kekayaan Negara meliputi keseluruhan aspek yang
didapatkan pemerintah dari hasil pendapatan masyarakat.
5. Peranan Pemerintah Dalam Kebijakan Ekonomi
Ibnu taimiyah, seperti halnya para pemikir Islam lainnya
menyatakan bahwa pemerintah merupakan institusi yang sangat dibutuhkan. Ia
memberikan dua alasan dalam menetapkan negara dankepemimpinan negara seperti
apa adanya. Penekanan dari pembahasannya lebih pada karakter religius dan
tujuan dari sebuah pemerintahan; “Tujuan terbesar dari negara adalah
mengajak penduduknya melaksanakan kebaikan dan mencegah mereka berbuat munkar”.[29]
Amar ma’ruf nahi munkar, merupakan tujuan yang sangat
komprehensif. Termasuk di dalamnya mengajak manusia melakukan praktik-praktik
sosial dan ekonomi yang buruk. Sebagaimana difirmankan Allah SWT :[30]
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah”.
Fungsi ekonomi dari negara dan berbagai kasus dimana negara
berhak melakukan intervensi terhadap hak individual untuk mendapatkan manfaat
yang lebih besar.[31]
Sama halnya dengan pernyataan yang sebelumnya, bahwa
kebijakan pemerintah dalam regulasi harga dilakukan dalam rangka
mensejahterakan masyarakat. Pemerintah berhak menetapkan harga demi
keseimbangan harga pasar. Tujuan yang lebih jelas sebagaimana dikatakan Ibnu
Taimiyah agar tidak terjadinya monopoli dari pihak tertantu dalam penetapan
harga, sehingga masyarakat kecil dapat melakukan kegiatan mikro ekonominya
dengan lancar.
6. Uang dan Kebijakan Moneter
a. Karakteristik dan Fungsi Uang
Secara khusus, Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama
uang, yakni sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang
yang berbeda, Ia menyatakan :
“Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga,
yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar
al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir
al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri
mereka sendiri”.[32]
Pada kalimat terakhir pernyataannya tersebut (…dan uang
tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri), sebagaimana yang
diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan bahwa beliau menentang bentuk
perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan uang berarti
menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, dan ini akan
mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya. Terdapat sejumlah alasan
mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan
diperlakukan sebagai komoditas yaitu :[33]
1) Uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik
(intrinsic utility) yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara
langsung. Uang harus digunakan untuk membeli barang dan jasa yang
memuaskan kebutuhan. Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan intrinsik, seperti
rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh karena itu uang tidak boleh
diperdagangkan dalam Islam.
2) Komoditas mempunyai kualitas yang
berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan nominal Rp.100.000,-
yang kertasnya kumal nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda
dengan harga mobil baru dan mobil bekas meskipun model dan tahun pembuatannya
sama.
3) Komoditas akan menyertai secara fisik
dalam transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu
yang dijual di showroom. Sementara uang tidak mempunyai identitas khusus, kita
dapat membeli mobil tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan
menanyakan bentuk uangnya seperti apa.
Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar
dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi
mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah
bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang
untuk ditukar dengan barang.[34]
Berdasarkan pandangan tersebut, Ibnu Taimiyah menentang
keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti mengalih fungsikan
uang dari tujuan yang sebenarnya.[35] Jika
uang harus ditukar dengan uang, maka pertukaran tersebut harus lengkap
(taqabud) dan tanpa ada jeda (hulul). Jika dua orang saling bertukar uang, yang
salah satu di antara mereka membayar dengan kontan sementara yang lain berjanji
akan membayarnya nanti, maka orang pertama tidak dapat menggunakan uang yang
dijanjikan dalam transaksi tersebut sampai ia benar-benar dibayar. Hal ini
menyebabkan orang pertama kehilangan kesempatan menggunakan uang tersebut untuk
memenuhi kebutuhannya. Itulah alasan Ibnu Taimiyah ketika menentang jual beli
uang.[36]
b. Pencetakan Uang Sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk.
Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang
peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang
dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang
baru yang berasal dari tembaga yang disebut
dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar,
dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang
kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir
Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai
nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value). Akibatnya kondisi
perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan
dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah
berpendapat sebagai berikut :[37]
“Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas
dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi
masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka”.
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa
beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat,
total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku.
Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya
mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas
transaksi masyarakat) dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil.
Menurutnya, nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat
di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung
dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah
logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena
sifat-sifat alamiah uang yang termasuk kategoritoken money, semakin sulit bagi
pemerintah untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak
mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor
riil terhadap uang yang dicetak tersebut. Melalui teori
kuantitas uangnya Irving Fisher di atas, hal ini dapat dijelaskan melalui
persamaan :
MV=PT.
Dimana M (Money) adalah jumlah uang beredar, V
(Velocity) adalah kecepatan uang beredar, P (Price) adalah tingkat harga produk
dan T (Trade) adalah nilai produk yang diperdagangkan. Apabila pemerintah
setiap kali butuh uang melakukan pencetakan mata uang tanpa memperhatikan daya
serap sektor riil, maka jumlah uang beredar di masyarakat, M akan meningkat.
Sementara bila V dan T tidak mengalami perubahan, dalam persamaan di atas agar
sisi kanan sama dengan sisi kiri, maka otomatis P akan naik. Dengan kata lain,
konsekuensi naiknya M akan mengakibatkan harga-harga produk mengalami kenaikan
(tidak stabil), yang berarti terjadi inflasi yang meningkat.[38]
Dari teori kuntitas diatas dapat disimpulakan,
apabila jumlah uang yang beredar dan kecepatan uang beredar sama dengan tingkat
harga produk dan nilai yang diperdagangkan, maka disitulah letak keseimbangan
nilai uang yang beredar. Hal inilah yang seharusnya dilakukan pemerintah agar tidak
terjadinya kekacauan peredaran uang di masyarakat.
Dalam sejarah beliaupun juga terlihat, bahwa pada masa itu
pemerintah melakukan pencetakan fulus dalam jumlah yang sangat besar
dengan nominal melebihi kandungan tembaga, sehingga tindakan pemerintah tersebut
membuat kondisi perekonomian semakin memburuk. Maka dari itu Ibnu Taimiyah
mengeluarkan pernyataan, bahwa Sikap yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah
adalah pencatakan fulus harus didasarkan pada keseimbangan
volume fulusdengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi, sehingga dapat
terciptanya harga yang adil. Kemudian terhadap uang yang telah beredar
dimasyarakat, disarankan untuk tidak membatalkannya, bahkan Ibnu Taimiyah
menyarankan untuk mencetak uang sesuai dengan nilai riilnya.
C. Penurunan Nilai Mata Uang
Setelah sadar akan kesalahan yang dilakukannya, Sultan
Kitbugha menetapkan bahwa nilai fulus ditentukan berdasarkan
beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun
pencetakanfulus dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir
Barquq dengan mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa. Untuk mendapatkan
tembaga saat itu memang sangat mudah dan murah. Di tengah
penggunaan fulus secara luas pada masyarakat, pada saat yang
bersamaan penggunaan dirham semakin sedikit dalam kegiatan
transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan inflasi
semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga produk.
Dampak pemberlakuan fulus sebagai mata uang resmi adalah terjadinya
kelaparan sebagai akibat inflasi keuangan yang mendorong naiknya
harga.[39]
Ibnu Taimiyah menyarankan kepada penguasa agar tidak
mempelopori bisnis mata uang dengan membeli tembaga serta mencetaknya menjadi
mata uang dan kemudian berbisnis dengannya. Ia juga menyarankan agar penguasa
tidak membatalkan masa berlaku suatu mata uang yang sedang beredar ditangan
masyarakat. Bahkan, penguasa seharusnya mencetak mata uang sesuai dengan nilai
riilnya tanpa bertujuan untuk mencari keuntungan apa pun dari percetakannya
tersebut agar kesejahteraan masyarakat (al-maslahah al-‘ammah) tetap terjamin.
Penguasa harus membayar gaji pekerja dari harta Baitul Mal. Ia menegaskan bahwa
perdagangan uang akan membuka lebar pintu kezaliman terhadap masyarakat serta
melenyapkan kekayaan mereka dengan dalih yang salah.[40]
Pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa gaji para pekerjanya
hendaknya dibayarkan dari perbendaharaan negara (Baitul Mal) juga sangat
signifikan. Pembayaran yang berasal dari pencetakan mata uang akan menimbulkan
kenaikan supply mata uang, sedangkan pembayaran yang berasal dari
perbendaharaan negara berarti menggunakan uang yang telah ada dalam peredaran,
yang berarti juga dapat menambah harta perbendaharaan negara
melalui kharaj dan sumber pendapatan negara lainnya.[41]
D. Mata Uang yang Buruk Akan Menyingkirkan Mata Uang yang
Baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk
akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia
mengambarkan hal ini sebagai berikut :
“Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu
dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan
orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi
hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan
nilai tinggi yang semula mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai
intrinsiknya mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber
keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulakan mata uang yang buruk dan
menukarkannya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya ke
daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut
untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang
masyarakat akan menjadi hancur”.[42]
Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat
yang akan terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang
sudah terlanjur memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak
berlaku lagi sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan sebagai barang biasa
yang tidak memiliki nilai yang sama disbanding dengan ketika berfungsi sebagai
mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran nilai mata uang yang baru,
masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.[43]
Di bagian akhir pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa
uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari
peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat
itu dengan kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan di atas,
bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga,
sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih
memegang Dinardan Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya
tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah
produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan. Selanjutnya, makin banyak
masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi,.
Akibatnya peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham
berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara Fulusberedar
secara luas. Banyaknya Fulus yang beredar akibat meningkatnya
kandungan tembaga dalam mata uang Dirhammengakibatkan sistem
moneter pada waktu itu tidak stabil.[44]
D. Analisis dan Relefansi Pemikiran Ibnu Taimiyah
Dengan Konsep Sekarang
Dalam menangani kebijakan moneter, Ibnu Taimiyah telah
memberikan kontribusi pemikirannya dengan konsep kesetaraan/keadilan. Keadaan
yang memicu saat terjadinya moneter membuat keuangan Negara tidak stabil. Sama
halnya dengan konsep yang terjadi sekarang, seketika harga dapat melonjak naik
dan terkadang turun, aktivitas ekonomipun sudah cukup banyak, dan tentu tingkat
terjadinya fluktuasi juga semakin tinggi.
1. Mekanisme Pasar
Pada prinsipnya mekanisme pasar diartikan bahwa harga
bergerak bebas sesuai hukum permintaan dan penawaran (supply and demand).
Jika supply lebih besar dari demand, maka harga akan cenderung
rendah. Begitupun jika demand lebih tinggi
sementara supply terbatas, maka harga akan cenderung mengalami
peningkatan.
Dalam implementasi sehari-hari belum bisa dipastikan
kegiatan yang terbentuk di pasar apakah memang berjalan sesuai dengan mekanisme
pasar yang wajar, tidak ada unsur intervensi, tidak ada unsur permainan oleh
sekelompok kekuatan tertentu yang membentuk kartel dan sebagainya. Dalam pasar
bebas misalnya, terkadang ada terjadinya sahamyang diperdagangkan dengan
perubahan harga yang cukup wajar. Wajar disini
berarti fluktuasi harga yang terjadi berlangsung secara normal,
tidakekstrem. Tapi terkadang juga sering memperlihatkan ada saja
saham-saham yang harganya bergerak secara ekstrem, naik secara mencolok
atau turun secara drastis.
Fakta di pasar memang seringkali menunjukkan ada beberapa
saham yang mencatat kenaikan harga sangat pesat tanpa didukung oleh informasi
yang memadai. Kenaikan harga dapat mencapai di atas 50 % bahkan sampai melebihi
100 % hanya dalam waktu beberapa hari, kurang dari satu bulan. Kenaikan
harga 50-100 % dalam tempo kurang dari satu bulan, tentu merupakan
keuntungan yang menawan dan menggiurkan.[45]
Memahami mekanisme pasar pada aktifitas jual beli saham di
pasar modal ini bukanlah hal yang sederhana. Dibutuhkan kejelian dan
kepekaan tinggi untuk melihat mana saham yang memang bergerak berdasarkan
mekanisme pasar dan mana saham yang bergerak di luar mekanisme pasar.Disebut
bergerak di luar mekanisme pasar karena fakta menunjukkan memang ada
saham-saham tertentu yang pergerakannya dikendalikan oleh satu kekuatan
tertentu meskipun hal itu sulit dibuktikan.
Saham seperti inilah yang harus diwaspadai oleh investor.
Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku pengawas pasar tidak mungkin mengambil
tindakan karena kenaikan harga saham tadi berlangsung dalam koridor pasar.
Artinya, tidak ada aturan pasar yang dilanggar. Karena itu investor harus
ekstra hati-hati melihat kenaikan harga saham yang tidak didukung oleh fakta
material.
2. Regulasi Harga
Sejak awal tahun 2010 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) telah mengingatkan bahwa tingginya harga sembako tidak boleh dibiarkan
karena semakin memberatkan masyarakat, baik konsumen rumah tangga maupun Usaha
Kebi dan Menengah (UKM). Harga sembako sejak awal tahun ini di lapangan
tercatat, harga telur ayam, cabal merah, beras, dan gula tetap bertahan tinggi
seperti akhir tahun lalu. Harga telur ayam rata-rata bertahan di level Rp.
l5.500 per kilogram. Sementara beras kualitas medium rata-rata Rp. 5000 per
kilogram, dan gula pasir rata-rata bertahan pada harga Rp
l4.000 per kilogram. Dibanding sebelumnya, harga beras dan gula pasir ini
rata-rata naik Rp. l.000 sampai Rp. 2.000 per kilogram. Kenyataan tersebut
bukan hanya ditemukan di pasar-pasar tradisional berbagai daerah di Jawa,
melainkan juga di Lampung dan Sumbar. YLKI ketika itu mengingatkan bahwa
pemerintah harus mengambil langkah cepat menangani kenaikan harga kebutuhan
pokok ini.[46]
Melihat kondisi tersebut, Ada baiknya pemerintah mendengar
berbagai saran maupun hasil kajian yang disampaikan banyak pengamat berkaitan
dengan kerap terjadinya gejolak harga sembako yang berulangkali terjadi.
Seiring dengan yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah, jika terjadinya ketidak
stabilan harga dimana suatu komoditas kebutuhan pokok yang harganya naik akibat
adanya manipulasi atau perubahan harga yang disebabkan oleh dorongan-dorongan
monopoli, maka pemerintah harus menetapkan harga yang adil bagi penjual dan
pembeli.
Untuk awal tahun ini, terjadinya gejolak harga sembako
ternyata tidak saja disebabkan oleh tingginya permintaan. Kebergantungan dalam
negeri atas komoditas dan kebutuhan pokok impor disinyalir justru menjadi
pemicu utama kenaikan harga. selama ini pemerintah justru amat mudah
menyelesaikan masalah di dalam negeri, seperti lonjakan harga kebutuhan pokok,
dengan sedikit-sedikit mengimpor. Padahal langkah ini juga tidak selalu
berhasil dalam mengatasi masalah yang terjadi.
Kebijakan impor selama ini terbukti hanya menyelesaikan
masalah sesaat. Dibutuhkan solusi jangka panjang untuk mengatasi kesulitan yang
dihadapi masyarakat. Kebijakan impor terbukti menciptakan ketidakstabilan harga
kebutuhan pokok. Pemenuhan target produksi dan pembenahan disisi jalur
distribusi seharusnya menjadi prioritas pemerintahan saat ini. Pemerintah perlu
mengalokasikan anggaran untuk mempercepat peningkatan produksi dan pembenahan
pasar domestik dibanding pemberian subsidi langsung untuk operasi pasar atau
pasar murah.
Langkah tersebut diperlukan agar seluruh barang kebutuhan
pokok bisa terpenuhi dari produksi dalam negeri. Dengan demikian, harga yang
terjadi pastinya lebih stabil dan terjangkau oleh masyarakat, khususnya rakyat
miskin yang tingkat perekonomiannya rendah.
3. Kebijakan Moneter
Pada dasarnya, suatu kebijakan akan muncul apabila telah
terjadinya suatu gejala yang dirasakan. Terjadinya infalasi misalnya, pada masa
Ibnu Taimiyah inflasi timbul Karena adanya peredaran mata uang yang tidak seimbang,
yaitu dengan pencetakan fulus yang nilai nominalnya tidak seimbang
dengan kandungan logam, sehingga apabila dibelanjakan untuk emas dan perak,
maupun barang-barang berharga lainnya, nilai mata uang tersebut menjadi
menurun, dan akhirnya timbul inflasi. Sikap yang seharusnya dilakukan oleh
pemerintah menurut Ibnu Taimiyah adalah pencatakan fulus harus
didasarkan pada keseimbangan volume fulusdengan proporsi jumlah transaksi
yang terjadi, sehingga dapat terciptanya harga yang adil. Kemudian terhadap uang
yang telah beredar dimasyarakat disarankan untuk tidak membatalkannya, bahkan
Ibnu Taimiyah menyarankan untuk mencetak uang sesuai dengan nilai riilnya.
Pada keadaan sekarang timbulnya Inflasi dapat
disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan atau desakan biaya
produksi. Inflasitarikan permintaan terjadi akibat adanya permintaan total
yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya
permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan
terhadap faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintaan terhadap faktor
produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat.
Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan
total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment. Inflasi desakan
biaya terjadi akibat meningkatnya biaya produksi sehingga mengakibatkan harga
produk-produk yang dihasilkan ikut naik. Untuk menanggulangi Inflasi
tersebut maka Bank Sentral diberikan wewenang khusus oleh pemerintah. Bank
sentral suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan
tingkat inflasi pada tingkat yang wajar. Beberapa Bank Sentral bahkan
memiliki kewenangan yang independen, dalam artian bahwa kebijakannya tidak
boleh diintervensi oleh pihak di luar Bank Sentral, termasuk pemerintah. Hal
ini disebabkan karena sejumlah studi menunjukkan bahwa Bank Sentral yang kurang
independen, salah satunya disebabkan intervensi pemerintah yang bertujuan
menggunakan kebijakan moneter untuk mendorong perekonomian, sehingga dari
intervensi tersebut akan mendorong tingkat inflasi yang lebih tinggi.
Bank Sentral umumnya mengandalikan jumlah uang beredar atau
tingkat suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu,
Bank Sentral juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang
domestik. Hal ini disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat
internal (dicerminkan oleh tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs), yang mana
saat ini pola inflation targeting banyak diterapkan oleh Bank Sentral
di seluruh dunia, termasuk oleh Bank Indonesia.
E. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
ulama-ulama klasik Islam telah tidak hanya berkutat pada agama dalam arti
sebatas ritual keagamaan, akan tetapi telah menaruh perhatian pada masalah
perekonomian masyarakat bahkan diindikasikan teori-teori ekonomi konvensional
modern merupakan adopsi dari hasil pemikiran mereka (Islam). Gresham telah
mengadopsi teori Ibnu Taymiyah tentang mata uang (curency) berkulitas buruk dan
berkualitas baik. Menurut Ibnu Taymiyah, uang berkualitas buruk akan menendang
keluar uang yang berkualitas baik, contohnya fulus (mata uang tembaga) akan
menendang keluar mata uang emas dan perak. Fungsi utama uang hanya sebagai alat
tukar dalam transaksi (medium of exchange for transaction) dan sebagai satuan
nilai (unit of account). Semua kebijakan tentang uang yang dibuat pemerintah
harus dalam rangka untuk kesejahteraan masyarakat (maslahat). Pencetakan uang
yang tidak didasarkan pada daya serap sektor riil dilarang, karena hanya akan meningkatkan
inflasi dan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Penimbunan uang dilarang,
karena menyebabkan melambatnya perputaran uang yang berdampak pada turunnya
jumlah produksi dan kenaikan harga-harga produk. Peleburan uang logam dilarang,
karena akan mengurangi pasokan uang secara permanent yang berdampak pada
kenaikan harga-harga produk.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Azim Islahi, Abdul, Economic Concepts of Ibn
Taimiyah, London: Islamic Foundation, 1988
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005, Cet.1
Ar. 2010. Diperlukan intervensi pemerintah untuk atasi
tingginya gejolak harga,http://bataviase.co.id/node
Azwar karim, Adiwarman, sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006, Ed. 3
Chamid, Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, Cet. 1
Misanan, Munrokhim, dkk., Text Book Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI
UII)
Tim Bursa Efek Indonesia. 2010. Mekanisme
Pasar, http://economy.okezone.com
/read/2010/ 10/11/ 226/381155/mekanisme-pasar
[1] Adiwarman Azwar
karim, sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2006), Ed. 3., hlm. 351.
[2] Nur
Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,(Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2010), Cet. 1., hlm, 230.
[3] Ibid.
[4] Euis
Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : Pustaka Asatruss,
2005), Cet.1, hlm 163-164.
[5] Ibid., hlm. 164
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm.
164-165
[8] Adiwarman Azwar
karim, Op.cit., hlm. 364-365
[9] Ibid., hlm.
365
[10] Ibid.
[11] Munrokhim
Misanan dkk., Text Book Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Direktorat Perbankan
Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi
Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII), hlm. 155-156.
[12] Euis
Amalia, Op.cit., hlm. 167
[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm.
169
[15] Umarudin,
M, Ibnu Taimiyah: Pemikiran dan Pembaharuan dalam Buku Mihrajan Ibnu
Taimiyah, hlm. 725-726., lihat juga dalam, Nur
Chamid, Op.cit.,hlm. 233
[16] Adiwarman
Azwar Karim, Op.cit., hlm. 356
[17] Ibid., hlm.
172
[18] Adiwarman
Azwar karim, Op.cit., hlm. 368
[19] Nur
Chamid, Op.cit., hlm. 236
[20] Munrokhim
Misanan dkk, Op.cit., hlm. 161
[21] Ibid., lihat
juga dalam, Euis Amalia, Op.cit., hlm. 175
[22] Euis
Amalia, Ibid., hlm. 175-176
[23] Abdul Azim
Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyah, (London: Islamic
Foundation, 1988), hlm. 113
[24] Ibid., hlm.
115-116
[25] Ibid., hlm.
116
[26] Ibid., hlm.
116-117
[27] Ibid., hlm.
117
[28] Euis
Amalia, Op.cit., hlm. 179
[29] Ibid.
[30] Al-Qur’an
al-Karim, (QS. Ali Imran: 110)
[31] Euis
Amalia, Op.cit., hlm. 180
[32] Adiwarman
Azwar Karim, Op.cit., hlm. 373
[33] Nur
Chamid, Op.cit., hlm. 239
[34] Ibid., hlm.
239-240
[35] Ibid., hlm.
373-374
[36] Abdul Azim
Islahi, Op.cit., hlm. 140-141
[37] Nur
Chamid, Op.cit., hlm. 240
[38] Ibid., hlm.
241
[39] Ibid., hlm.
241-242
[40] Adiwarman
Azwar Karim, Op.cit., hlm. 375
[41] Ibid., hlm.
376
[42] Adiwarman
Azwar Karim, Op.cit., hlm. 376
[43] Ibid., hlm.
377
[44] Nur
chamid, Op.cit., hlm. 244-245
[45] Tim Bursa
Efek Indonesia. 2010. Mekanisme Pasar,http://economy.okezone.com
/read/2010/ 10/11/ 226/381155/mekanisme-pasar., diakses tgl 1juni 2011
[46] Ar.
2010. Diperlukan intervensi pemerintah untuk atasi tingginya gejolak
harga, http://bataviase.co.id/node,
diakses tgl 1 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentt yoo..