Duta Islam Yang Pertama
Mush'ab
bin Umair salah seorang diantara para shahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita
memulai kisah dengan pribadinya: Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang
paling ganteng dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kemudaan. Para
muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kemudaannya dengan kalimat:
"Seorang warga kota Mekah yang mempunyai nama paling harum". Ia lahir
dan dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tak
seorangpun diantara anak-anak muda Mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua
orang tuanya demikian rupa sebagai yang dialami Mush'ab bin Umair.
Mungkinkah
kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi
buah-bibir gadis-gadis Mekah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan,
akan meningkat menjadi tamsil dalam semangat kepahlawanan? Sungguh, suat
riwayat penuh pesona, riwayat Mush'ab bin Umair atau "Mush'ab yang
baik", sebagai biasa digelarkan oleh Kaum Muslimin. Ia salah satu diantara
pribadi-pribadi Muslimin yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad SAW.
·
Tetapi corak pribadi manakah? · Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi
kemanusiaan umumnya.
Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas dikalangan warga Mekah mengenai Muhammad Al-Amin...Muhammad SAW, yang mengatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagi da'i yang mengajak ummat beribadat kepada Allah Yang Maha Esa. Sementara perhatian warga Mekah terpusat pada berita itu dan tiada yang menjadi buah pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah SAW serta Agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu. Karena walaupun usianya masih belia, tetapi ia menjadi bunga majlis tempat-tempat pertemuan yang selalu diharapkan kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya. Gayanya yang tampan dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Ibnu Umair, menjadi daya pemikat dan pembuka jalan pemecahan masalah.
Diantara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam. Keraguannya tiada berjalan lama, hanya sebentar waktu ia menunggu, maka pada suatu senja didorong oleh kerinduannya pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah SAW sering berkumpul dengan para shahabatnya, tempat mengajarnya ayat-ayat Al-Qur'an dan membawa mereka shalat beribadat kepada Allah Yang Maha Akbar.
Baru
saja Mush'ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat Al-Qur'an mulai mengalir dari
kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap
di hati para pendengar. Di senja itu Mush'ab pun terpesona oleh untaian kalimat
Rasulullah yang tepat menemui sasaran pada kalbunya.
Hampir
saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan serasa
terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah mengulurkan tangannya yang penuh
berkat dan kasih sayang dan mengurut dada pemuda yang sedang panas bergejolak,
hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuh hati yang tenang dan damai, tak obah
bagai lautan yang teduh dan dalam. Pemuda yang telah Islam dan Iman itu nampak
telah memiliki ilmu dan hikmah yang luas - berlipat ganda dari ukuran usianya -
dan mempunyai kepekatan hati yang mempu merubah jalan sejarah..!
Khunas
binti Malik yakni ibunda Mush'ab, seorang yang berkepribadian kuat dan
pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat, Ia wanit yang disegani
bahkan ditakuti.
Ketika
Mush'ab menganut Islam, tiada satu kekuatanpun yang ditakuti dan
dikhawatirkannya selain ibunya sendiri, bahkan walau seluruh penduduk Mekah
beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah rupa menjadi
suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya,
tentulah Mush'ab akan menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari ibunya bagi
Mush'ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil
keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang
dikehendaki Allah. Demikianlah ia senantiasa bolak-balik ke rumah Arqam
menghadiri majlis Rasulullah, sedang hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan
sedia menebusnya dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita
keislamannya.
Tetapi di kota Mekah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran dimana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak. Kebetulan seorang yang bernama Utsman bin Thalhah melihat Mush'ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad SAW. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush'ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.
Berdirilah
Mush'ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekah yang berkumpul
di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat Al-Qur'an
yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan
hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketaqwaan.
Ketika
sang ibu hendak membungkam mulut peteranya dengan tamparan keras, tiba-tiba
tangan yang terulur bagi anak panah itu surut dan jatuh terkulai - demi melihat
nur atau cahaya yang membuat wajah yang telah berseri cemerlang itu kian
berwibawa dan patut diindahkan - menimbulkan suatu ketenangan yang mendorong
dihentikannya tindakan. Karena ras keibuannya, ibunda Mush'ab terhindar memukul
dan menyakiti puteranya, tetapi tak dapat menahan diri dari tuntutan bela
berhala-berhalanya dengan jalan lain. Dibawalah puteranyaitu ke suatu tempat
terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya amat rapat.
Demikianlah beberapa lama Mush'ab tinggal dalam kurungan sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habsyi. Mendengar berita hijrah ini Mush'ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habsyi melindungkan diri. Ia tinggal di sana bersama saudara-saudaranya kaum Muslimin, lalu pulang ke Mekah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para shahabat atas titah Rasulullah dan karena taat kepadanya.
Baik
di Habsyi ataupun di Mekah, ujian dan penderitaan yang harus dilalui Mush'ab di
tiap saat dan tempat kian meningkat. Ia selesai dan berhasil menempa corak
kehidupannya menurut pola yang modelnya telah dicontohkan Muhammad SAW. Ia
merasa puas bahwa kehidupannya telah layak untuk dipersembahkan bagi
pengorbanan terhadap Penciptanya Yang Maha Tinggi, Tuhannya Yang Maha Akbar.
Pada
Suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang duduk
sedeliling Rasulullah SAW. Demi memandang Mush'ab, mereka sama menundukkan
kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka.
Mereka melihat Mush'ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal, padahal belum
lagi hilang dari ingatan mereka - pakaiannya sebelum masuk Islam - tak obahnya
bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.
Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih
dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia, seraya
berkata yang artinya : "Dahulu saya lihat Mush'ab ini tak ada yang
mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian
ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya."
Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush'ab kepada agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala dan patutu beroleh kutukan daripadanya, walau anak kandungnya sendiri.
Akhir
pertemuan Mush'ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak mencoba
mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Ia pun bersumpah dan
menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu
dilakukan. Karena san ibu telah mengetahui kebulatan tekad puteranya yang telah
mengambil satu keputusan, tak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan
cucuran air mata, sementara Mush'ab mengucapkan selamat berpisah dengan
menangis pula.
Saat perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran fihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari fihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata : "Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi". Maka Mush'ab pun menghampiri ibunya sambil berkata : "Wahai bunda! Telah anakanda sampaikan nasihat kepada bunda, dan anakanda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya".
Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut : "Demi bintang! sekali-kali aku takkan masuk ke dalam Agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi". Demikian Mush'ab meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang dialaminya selama itu, dan memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda ganteng dan perlente itu, kini telah menjadi seorang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang, sehari makan dan beberapa hari menderita lapar.
Tapi
jiwanya yang telah dihiasi dengan aqidah suci dan cemerlang berkat sepuhan Nur
Ilahi, telah merubah dirinya menjadi seorang manusia lain, yaitu manusia yang
dihormati, penuh wibawa dan disegani.
Suatu
saat Mush'ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat
itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk
Agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai'at kepada Rasulullah
di bukit Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut Agama
Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul sebagai
peristiwa besar.
Sebenarnya di kalangan shahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush'ab. Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada "Mush'ab yang baik". Dan bukan tidak menadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu dan meyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tepatan atau kota hijrah, pusat para da'i dan da'wah tempat berhimpunnya penyebar Agama dan pembela Al-Islam.
Mush'ab memikul amant itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam. Sesampainya di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin di sana tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah bai'at di bukit Aqabah. Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.
Pada musim haji berikutnya dari perjanjian Aqabah, Kaum Muslimin Madinah mengirim perutusan yang mewakili mereka menemui Nabi. Dan perutusan itu dipimpin oleh guru mereka, oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush'ab bin Umair. Dengan tidakannya yang tepat dan bijaksana, Mush'ab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah SAW atas dirinya itu tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah diterapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaknya mengikuti pola hidup Rasulullah SAW yang diimaninya yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka....
Di Madinah Mush'ab tinggal sebagai tamu di rumah As'ad bin Zararah. Dengan didampingi As'ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci dari Allah, menyampaikan kalimatullah "bahwa Allah Tuhan Maha Esa" secara hati-hati.
Pernah
ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri sert
shahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena kecerdasan akal dan
kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedanga memberikan petuah kepada
orang-orang, tiba-tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul
Asyhal di Madinah. Usaid menolong Mush'ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan
main marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush'ab yang dianggap akan mengacau
dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan
Yang Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal
menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya
masing-masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah
satu diantaranya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan segera pergi
mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan
permohonan.....Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku
Abdul Asyhal. Tetapi Tuhannya Muhammad SAW - yang diserukan beribadah
kepada-Nya - oleh utusan yang datang kepada mereka itu, tiadalah yang
mengetahui tempat-Nya dan tak seorangpun yang dapat melihat-Nya.
Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada orang-orang Islam yang duduk bersama Mush'ab, mereka pun merasa kecut dan takut. Tetapi "Mush'ab yang baik" tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah. Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush'ab dan As'ad bin Zararah, bentaknya : "Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!"
Seperti
tenang dan mantapnya samudera dalam.....,laksana terang dan damainya cahaya
fajar...., terpancarlah ketulusan hati "Mush'ab yang baik", dan
bergeraklah lidahnya mengeluarkan ucapan halus, katanya : "Kenapa
anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandarinya anda menyukai nanti, anda
dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak
anda sukai itu!"
Sebenarnya
Usaid seorang berakal dan berfikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh
Mush'ab untuk berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati nuraninya sendiri.
Yang dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengar dan bukan lainnya. Jika ia
menyetujui, ia akan membiarkan Mush'ab, dan jika tidak, maka Mush'ab berjanji
akan meninggalkan kampung dan masyarakat mereka untuk mencari tempat dan
masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.
"Sekarang
saya insaf", ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk
mendengarkan. Demi Mush'ab membacakan ayat-ayat Al-Qur'an dan menyampaikan da'wah
yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah SAW, maka dada Usaid pun mulai terbuka
dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi
keindahannya. Dan belum lagi Mush'ab selesai dari uraiannya, Usaid pun berseru
kepadanya dan kepada shahabatnya : "Alangkah indah dan benarnya
ucapan itu . . .! Dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk
Agama ini?" Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak
seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush'ab : "Hendaklah
ia mencsucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan
yang haq diibadahi melainkan Allah".
Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah . . . . Secepatnya berita itu pun tersiarlah. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa'ad bin Mu'adz. Dan setelah mendengar uraian Mush'ab, Sa'ad merasa puas dan masuk Islam pula. Langkah itu disusul pula oleh Sa'ad bin Ubadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga kota Madinah saling berdatangan dan tanya-bertanya sesama mereka : "Jika Usaid bin Hudlair, Sa'ad bin Ubadah dan Sa'ad bin Mu'adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu . . . . Ayolah kita pergi kepada Mush'ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya!"
Demikianlah duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya. Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah bersama para shahabatnya hijrah ke Madinah. Orang-orang Quraisy semakin geram dengan dendamnya, mereka menyiapkan tenaga untuk melanjutkan tindakan kekerasan terhadap hamba-hamba Allah yang shaleh. Terjadilah perang Badar dan kaum Quraisy pun beroleh pelajaran pahit yang menghabiskan sisa-sisa fikiran sehat mereka, hingga mereka berusaha untuk menebus kekalahan. Kemudian datanglah giliran perang Uhud, dan Kaum Muslimin pun bersiap-siap mengatur barisan. Rasulullah berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman menyelidiki siapa yang sebaiknya membawa bendera. Maka terpanggillah "Mush'ab yang baik", dan pahlawan itu tampil sebagai pembawa bendera.
Peperangan berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah melanggar tidak mentaati peraturan Rasulullah, mereka meninggalkan kedudukannya di celah bukit setelah melihat orang-orang musyrik menderita kekalahan dan mengundurkan diri. Perbuatan merekaitu secepatnya merubah suasana, hingga kemenangan Kaum Muslimin beralih menjadi kekalahan. Dengan tidak diduga pasukan berkuda Quraisy menyerbu Kaum Muslimin dari puncak bukit, lalu tombak dan pedang pun berdentang bagaikan mengamuk, membantai Kaum Muslimin yang tengah kacau balau. Melihat barisan Kaum Muslimin porak poranda, musuh pun menujukan serangan ke arah Rasulullah dengan maksud menghantamnya.
Mush'ab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan ngauman singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah SAW. Dengan demikian dirinya pribadi bagaikan membentuk barisan tentara.
Sungguh,
walaupun seorang diri, tetapi Mush'ab bertempur laksana pasukan tentara besar .
. . . Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang
sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam . . . . Tetapi musuh
kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyeberang dengan menginjak-injak
tubuhnya untuk mencapai Rasulullah.
Sekarang
marilah kita perhatikan saksi mata, yang akan menceriterakan saat-saat terakhir
pahlawan besar Mush'ab bin Umair. Berkata Ibnu Sa'ad : "Diceriterakan
kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil Al-Abdari dari bapaknya. Ia
berkata : "Mush'ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud.
Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah, Mush'ab bertahan pada kedudukannya.
Datanglah seorang musuh berkuda, Ibnu Qumaiah namanya, lalu menebas tangannya
hingga putus, sementara Mush'ab mengucapkan : "Muhammad itu tiada
lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa
Rasul". Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk
melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush'ab
membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada
sambil mengucapkan : "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul,
dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul". Lalu orang berkuda
itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu
pun patah. Mush'ab pun gugur, dan bendera jatuh."
Gugurlah
Mush'ab dan jatuhlah bendera . . . . Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para
syuhada . . . . Dan hal itu dialaminya setelah dengan keberanian luar biasa
mengarungi kancah pengurbanan dan keimanan. Di saat itu Mush'ab berpendapat
bahwa sekiranya ia gugur, tentulah jalan para pembunuh akan terbuka lebar
menuju Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya
yang tiada terbatas kepada Rasulullah dan cemas memikirkan nasibnya nanti,
ketika ia akan pergi berlalu, setiap kali pedang jatuh menerbangkan sebelah
tangannya, dihiburnya dirinya dengan ucapan : "Muhammad itu tiada
lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa
Rasul".
Kalimat
yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibacnya sampai
selesai, hingga akhirnya menjadi ayat Al-Qur'an yang selalu dibaca orang.
Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad pahlawan ulung yang syahid itu
terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang mulai . . .
. Dan seolah-olah tubuh yang telah kaku itu masih takut menyaksikan bila
Rasulullah ditimpa bencana, maka disembunyikan wajahnya agar tidak melihat
peristiwa yang dikhawatirkan dan ditakutinya itu. Atau mungkin juga ia merasa
malu karena telah gugur sebelum hatinya tenteram beroleh kepastian akan
keselamatan Rasulullah, dan sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam
membela dan mempertahankan Raulullah sampai berhasil.
·
Wahai Mush'ab cukuplah bagimu Ar-Rahman . . . . · Namamu harum semerbak dalam
kehidupan
Rasulullah
bersama para shahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan
perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad
Mush'ab, bercucuranlah dengan deras air matanya. Berkata Khabbah Ibnul Urrat :
"Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah SAW dengan mengharap
keridhaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi allah. Di antara kami ada
yang telah berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun juga.
Di antaranya ialah Mush'ab bin Umair yang tewas di perang Uhud. Tak sehelai pun
kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas
kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan di
kakinya, terbukalah kepalanya. Maka sabda Rasulullah SAW : "Tutupkanlah
ke bagian kepalanya, dan kakinya tutuplah dengan rumput idzkhir!"
Betapa
pun luka pedih dan duka yang dalam menimpa Rasulullah karena gugur pamanda
Hamzah dan dirusak tubuhnya oleh orang-orang musyrik demikian rupa, hingga
bercucurlah air mata Nabi . . . . Dan betapapun penuhnya medan laga dengan
mayat para shahabat dan kawan-kawannya, yang masing-masing mereka baginya
merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya . . . Betapa juga semua
itu, tapi Rasulullah tak melewatkan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang
pertama, untuk melepas dan mengeluarkan isi hatinya . . . . Memang, Rasulullah
berdiri di depan Mush'ab bin Umair dengan pandangan mata yang pendek bagai
menyelubunginya dengan kesetiaan dan kasih sayang, dibacakannya ayat dalam Surah
Al-Ahzab : 23 yang artinya : "Di antara orang-orang Mu'min
terdapat pahlawan-pahlawan yang telah menepati janjinya dengan Allah."
Kemudian
dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, seraya
bersabda : "Ketika di Mekah dulu, tak seorang pun aku lihat yang
lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripadanya. Tetapi sekarang
ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah."
Setelah melayangkan pandang, pandangan sayu ke arah medan serta para syuhada kawan-kawan
Mush'ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru : "Sungguh,
Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari qiamat, bahwa tuan-tuan semua
adalah syuhada di sisi Allah."
Kemudian
sambil berpaling ke arah shahabat yang masih hidup, sabdanya : "Hai
manusia! Berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam!
Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari qiamat
yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya."
Salam
atasmu wahai Mush'ab . . . . Salam atasmu sekalian, wahai para syuhada . . . .
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. ..............
Oleh : Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentt yoo..